ILMU TASAWUF DALAM ISLAM
A. PENDAHULUAN
Kebanyakan kalangan muslim percaya bahwa salah satu aspek
penting untuk mengetahui keuniversalan ajaran Islam tersebut adalah adanya
dorongan untuk senantiasa mencari ilmu pengetahuan dimana saja dan kapan saja
umat Islam berada. Dengan adanya dorongan dari ayat-ayat al-Qur’an maupun dalam
al-Hadits yang menganjurkan umat Islam agar mencari ilmu pengetahuan inilah
yang menyebabkan lahirnya beberapa
disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, dimana salah satu di antaranya adalah
lahirnya ilmu tasawuf yang akan dibahas dalam isi makalah ini. Ilmu tasawuf
sesungguhnya ialah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam yang utama, selain
ilmu Tauhid (Ushuluddin)dan ilmu Fiqih.
Yang mana dalam ilmu Tauhid bertugas membahas tentang
soal-soal I’tiqad (kepercayaan) seperti I’tiqad (kepercayaan) mengenai hal
Ketuhanan, kerasulan, hari akhir, ketentuan qadla’ dan qadar Allah dan sebagainya. Kemudian dalam ilmu Fiqih
adalah lebih membahas tentang hal-hal ibadah yang bersifat dhahir (lahir),
seperti soal shalat, puasa, zakat, ibadah haji dan sebagainya. Sedangkan
dalam
ilmu Tasawuf lebih membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak, budi
pekerti, amalan ibadah yang bertalian dengan masalah bathin (hati), seperti:
cara-cara ihlash, khusu’, taubat, tawadhu’, sabar, redhla (kerelaan), tawakkal
dan yang lainnya.
Dari paparan diatas, materi yang akan dibahas dibatasi pada
beberapa hal:
1. Apa pengertian
dan bagaimana sejarah perkembangan ilmu Tasawuf?
2. Apa saja
pokok-pokok ajaran Tasawuf?
3. Bagaimana
kedudukan ilmu Tasawuf dalam Islam?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ilmu Tasawuf
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk
mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir
dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata
"Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol,
merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun
tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang
lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh
penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan
bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari
"Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl
al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok
muslim pada waktu Nabi Muhammad SAW yang menghabiskan waktu mereka di beranda
masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
2. Sejarah Kemunculan Ilmu Tasawuf
Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul
ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam
sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan
paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah.[1] Dan
orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang
sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut
paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara
kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini
didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam
hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan.
Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang
sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai
akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut.
Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham
tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran
tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata
"beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti
telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf
yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad.
Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian
antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib,
khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena
faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa
khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi
terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah
yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari
hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu
munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashri pada abad kedua
Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan
Rabi’ah al-‘Adawiyah.[2]
Pada dasarnya sejarah awal perkembangan tasawuf, adalah
sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi saw. Hal ini dapat dilihat bagaimana
peristiwa dan prilaku kehidupan Nabi saw. sebelum diangkat menjadi rasul.
Beliau berhari-hari pernah berkhalwat di Gua Hira’, terutama pada bulan
ramadlan. Disana Nabi saw lebih banyak berdzikir dan bertafakkur dalam rangka
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi saw. di Gua
Hira’ inilah yang merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat.
Dalam aspek lain dari sisi prikehidupan Nabi saw. adalah diyakini merupakan
benih-benih timbulnya tasawuf, dimana
dalam kehidupan sehari-hari Nabi saw. sangatlah sederhana, zuhud dan tak
pernah terpesona oleh kemewahan duniawi. Hal itu di kuatkan oleh salah satu do’a
Nabi saw, beliau pernah bermohon yang artinya: “Wahai Allah, hidupkanlah aku
dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin”. (HR. al-Tirmizi, Ibn
Majah, dan al-Hakim).
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya (periode kedua
setelah periode Nabi saw.) ialah periode tasawuf pada masa “Khulafaurrasyidin”
yakni masa kehidupan empat sahabat besar setelah Nabi saw. yaitu pada masa Abu
Bakar al-Siddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan masa Ali ibn Abi
Thalib. Kehidupan para khulafaurrasyidin tersebut selalu dijadikan acuan oleh
para sufi, karena para sahabat diyakini sebagai murid langsung Nabi saw. dalam
segala perbuatan dan ucapan mereka jelas senantiasa mengikuti tata cara
kehidupan Nabi saw. terutama yang
bertalian dengan keteguhan imannya, ketaqwaannya, kezuhudan, budi pekerti luhur
dan yang lainnya.Salah satu contoh sahabat yang dianggap mempunyai kemiripan
hidup seperti Nabi saw. adalah sahabat Umar Ibn al-Khattab, beliau terkenal
dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, ia terkenal kezuhudan dan
kesederhanaannya. Diriwayatkan pernah suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah (Amirul
Mukminin), ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.
Selain mengacu pada kehidupan keempat khalifah di atas, para
ahli sufi juga merujuk pada kehidupan para “Ahlus Suffah” yaitu para sahabat
Nabi saw. yang tinggal di masjid nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin
namun senantiasa teguh dalam memegang akidah dan selalu mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Diantara para Ahlus Suffah itu ialah,sahabat Abu Hurairah, Abu Zar
al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Muadz bin Jabal, Imran bin Husain, Abu Ubaidah
bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman dan
lain-lain.
Perkembangan tasawuf selanjutnya adalah masuk pada periode
generasi setelah sahabat yakni pada masa kehidupan para “Tabi’in (sekitar abad
ke-1 dan abad ke-2 Hijriyah), pada periode ini munculah kelompok(gerakan)
tasawuf yang memisahkan diri terhadap konflik-konflik politik yang di lancarkan
oleh dinasti bani Umayyah yang sedang berkuasa guna menumpas lawan-lawan
politiknya. Gerakan tasawuf tersebut diberi nama “Tawwabun” (kaum Tawwabin),
yaitu mereka yang membersihkan diri dari apa yang pernah mereka lakukan dan
yang telah mereka dukung atas kasus terbunuhnya Imam Husain bin Ali di Karbala
oleh pasukan Muawiyyah, dan mereka bertaubat dengan cara mengisi kehidupan
sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin ini dipimpin oleh Mukhtar
bin Ubaid as-Saqafi yang ahir kehidupannya terbunuh di Kuffah pada tahun 68 H
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya adalah memasuki abad
ke-3 dan abad ke-4 Hijriyah. Pada masa ini terdapat dua kecenderungan para
tokoh tasawuf. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang
di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang biasa di sebut dengan “Tasawuf
Sunni” dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti : Haris al-Muhasibi (Basrah),
Imam al-Ghazali, Sirri as-Saqafi, Abu Ali ar-Ruzbani dan lain-lain.Kelompok
kedua, adalah yang cenderung pada kajian tasawuf filsafat, dikatakan demikian karena tasawuf
telah berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Adapun tokoh-tokoh tasawuf
filsafat yang terkenal pada saat itu diantaranya: Abu Yazid al-Bustami (W.260
H.) dengan konsep tasawuf filsafatnya yang terkenal yakni tentang “Fana dan
Baqa” (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi), serta
“Ittihad” (Bersatunya hamba dengan Tuhan). Adapun puncak perkembangan tasawuf
filsafat pada abad ke-3 dan abad ke-4, adalah pada masa Husain bin Mansur
al-Hallaj (244-309 H ), ia merupakan tokoh yang dianggap paling kontroversial
dalam sejarah tasawuf, sehingga ahirnya harus menemui ajalnya di taing
gantungan.
Periode sejarah perkembangan tasawuf pada abad ke-5 Hijriyah
terutama tasawuf filsafat telah mengalami kemunduran luar biasa, hal itu akibat meninggalnya
al-Hallaj sebagai tokoh utamanya. Dan pada periode ini perkembangan sejarah
tasawuf sunni mengalami kejayaan pesat, hal itu ditandai dengan munculnya
tokoh-tokoh tasawuf sunni seperti, Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari
al-Harawi (396-481 H.), seorang penentang tasawuf filsafat yang paling keras
yang telah disebarluaskan oleh al-Bustani dan al-Hallaj. Dan puncak
kecemerlangan tasawuf suni ini adalah
pada masa al-Ghazali, yang karena keluasan ilmu dan kedudukannya yang
tinggi, hingga ia mendapatkan suatu gelar kehormatan sebagai “Hujjatul Islam”.
Sejarah perkembangan tasawuf selanjutnya adalah memasuki
periode abad ke-7, dimana tasawuf
filsafat mengalami kemajuan kembali yang dimunculkan oleh tokoh terkenal
yakni Ibnu Arabi. Ibnu Arabi telah berhasil menemukan teori baru dalam bidang
tasawuf filsafat yakni tenyang “Wahdatul Wujud”, yang banyak diikuti oleh
tokoh-tokoh lainnya seperti Ibnu Sab’in, Jalaluddin ar-Rumi dan sebagainya. Kecuali itu pada abad
ke-6 dan abad ke-7 ini pula muncul beberapa aliran tasawuf amali, yang ditandai
lahirnya beberapa tokoh tarikat besar seperti: Tarikat Qadiriyah oleh Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani di Bagdad (470-561 H.), Tarikat Rifa’iyah yang didirikan
oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’I di Irak (W.578 H.) dan sebagainya. Dan
sesudah abad ke-7 inilah tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide
tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau toh ada hal itu hanyalah
sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya.[3]
3. Pokok-pokok Ajaran Tasawuf
Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi
pembahasannya menjadi tiga macam, yaitu:
a. Tasawuf Aqidah
yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan
masalah-masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah
keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena
setiap Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka
memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan
siksaan neraka. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah
berusaha melukiskan Ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang
ada dalam pengertian yang mutlak. Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan
menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah,
ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut dengan “Al-Asman
al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir tertentu, untuk mencapai
alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid) bisa mencapai
hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).
b. Tasawuf Ibadah
yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah
rahasia ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan
mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah),
rahasia Zakat (Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia
Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang
melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1) Tingkatan
orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama.
2) Tingkatan
orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua.
3) Tingkatan
orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai
tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang
biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali
(Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi
(Al-Anbiya’).
Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun
untuk menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu
hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau
tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia
(batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah
menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan:
1) Taharah yang
sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan najis.
2) Taharah yang
sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan dosa.
3) Taharah yang
sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela.
4) Taharah yang
sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah sesuatu di luar
Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai
kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering
dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.
c. Tasawuf Akhlaqi
Yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi
pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat,
sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain:
1) Bertaubat
(At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang buruk, sehingga
ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik.
2) Bersyukur
(Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan mempergunakan segala
nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;
3) Bersabar
(Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang menimpanya.
4) Bertawakkal
(At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT. Setelah berbuat
sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan.
5) Bersikap
ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat
menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita
lakukan.
Ini baru sebagian kecil saja akhlaq baik terhadap Tuhan yang
kita bicarakan, tetapi pembicaraan Tasawuf selalu menuju kepada pembahasan yang
lebih dalam lagi, yaitu hingga menelusuri kerahasiaannya. Jadi pembicaraan
taubat, syukur, sabar, tawakkal dan ikhlas, dibahas dengan mengemukakan
indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk lingkup pembahasan akhlaq;
tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya, maka hal itu termasuk
Tasawuf. Sehingga dari sinilah kita dapat melihat perbedaan Akhlaq dengan
Tasawuf, namun dari sisi lain dapat dilihat kesamaannya, yaitu keduanya
sama-sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga (Ihsan).
Bila ditinjau dari sisi corak pemikiran atau konsepsi
(teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka hal itu bisa menjadi Tasawuf
Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi.
Dalam Tasawuf Salafi dan Tasawuf Sunni, system peribadatan
dan teori-teori yang digunakannya, sama dengan yang telah dilakukan oleh
Ulama-Ulama Salaf, sehingga kadang-kadang Tasawuf Sunni disebut juga Tasawuf
Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf Falsafi, ajarannya sudah dimasuki oleh
teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh Filsafat Yahudi; Filsafat
Kristen dan Filsafat Hindu. Maka tidak sedikit ajarannya yang hampir sama
dengan agama yang mempengaruhinya, terutama konsepsi yang digunakan untuk
mendapat hakikat ketuhanan; dengan istilah “Al-Hulul” (larutnya sifat ketuhanan
ke dalam sifat kemanusiaan), “Al-Ittihad” (leburnya sifat hamba dengan sifat
Allah), “Wihdatu al-Wujud” (menyatunya hamba dengan Allah) dan sebagainya. Dan
barangkali inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa
Tasawuf Islam itu tidak lain, kecuali hanya ajaran Mistik umat-umat terdahulu,
yang telah ditransformasikan oleh Ulama Tasawuf ke dalam Islam. Tetapi tuduhan
itupun dialamatkan pada Tasawuf Sunni dan Salafi, padahal sebenarnya ajaran
Tasawuf tersebut masih konsisten dalam ajaran Islam. Hanya saja, barangkali ada
tata caranya yang sudah dikembangkan oleh Ulama Tarekat pada masa sesudahnya
yang akhirnya tidak persis sama dengan Tasawuf yang telah dipraktekkan oleh
Ulama Sahabat dan Tabin di abad pertama dan kedua Hijriyah. Tentu saja,
perkembangannya itu hanya sekedar memenuhi tuntutan zaman yang dilaluinya,
sedangkan prinsipnya tidak bertentangan dengan pengalaman Ulama-Ulama Salaf.[4]
4. Kedudukan Ilmu Tasawuf dalam Islam
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan
hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib,
tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan
ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih
afdhal, tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith
yang memuat kata Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama
Tasawuf berusaha membukukan ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca
oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab
yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatan
dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya,
yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-Qur’an dan
Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut,
didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith, dengan perkataan
“Udhkuru” atau “Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf
membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah “Suluk”. Karena kalau
tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada bedanya dengan akhlaq
mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih tergolong
ajaran Akhlaq.
Tasawuf merupakan pengontrol jiwa dan membersihkan manusia
dari kotoran-kotoran dunia di dalam hati, melunakan hawa nafsu, sehingga rasa
takwa hadir dari hati yang bersih dan selalu merasa dekat kepada Allah. Tujuan tasawuf
itu menghendaki manusia harus menampilkan ucapan, perbuatan, pikiran, dan niat
yang suci bersih, agar menjadi manusia yang berakhlak baik dan sifat yang
terpuji, sehingga menjadi seorang hamba yang dicintai Allah swt. Oleh karena
itu, sifat-sifat yang demikian perlu dimiliki oleh seorang muslim.
Maka dengan bertasawuf, seseorang akan bersikap tabah,
sabar, dan mempunyai kekuatan iman dalam dirinya, sehingga tidak mudah
terpengaruh atau tergoda oleh kehidupan dunia yang berlebihan dengan bersikap
qonaah, yaitu sabar dan tawakal, serta menerima apa yang telah diberikan Allah
walaupun sedikit. Oleh karena itu tasawuf betul-betul mendapatkan perhatian
yang lebih dalam ajaran Islam, walaupun sebagian ulama fikih menentang tasawuf
ini, karena dianggap bid'ah dan orang yang mempelajarinya telah berbuat syirik,
karena tidak berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah.[5]
Banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang memerintahkan
manusia supaya bertobat, sabar, tawakal, bersikap zuhud, ikhlas dan ridha
kepada Allah swt, serta membersihkan diri dengan berzikir kepada Allah.
Sebagaimana Allah swt, berfirman:
ô‰s% yxn=øùr& `tB 4’ª1t“s?
ÇÊÍÈ tx.sŒur
zOó™$# ¾ÏmÎn/u‘ 4’©?|Ásù ÇÊÎÈ
“Sesungguhnya berbahagialah orang
yang membersihkan diri, dan ia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (QS.
Al- A'la: 14-15)
Ulama Tasawuf, yang sering juga disebut “Ulama’ al-Muhaqqin”
membuat tata cara peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas
konsepsi dan motivasi beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadith, antara lain berbunyi:
ô‰s)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þ’Îû
Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO
çm»tR÷ŠyŠu‘ Ÿ@xÿó™r& tû,Î#Ïÿ»y™ ÇÎÈ
“Sesungguhnya kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke
tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (Q.S. At-Tiin: 4-5)
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0øŒ$#
©!$# #[ø.ÏŒ #ZŽÏVx. ÇÍÊÈ çnqßsÎm7y™ur
Zotõ3ç/ ¸x‹Ï¹r&ur ÇÍËÈ
“Hai orang-orang yang beriman;
berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir yang sebanyak-banyaknya.
Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”(Q.S. Al-Ahzab: 41-42)
“Sembahlah Allah,
seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya,
maka Ia pasti melihatmu. (H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari Abu
Hurairah)
Dalam ayat pertama, diterangkan bahwa manusia diciptakan
oleh Allah dengan sebaik-baik kejadian, namun karena perbuatan manusia itu
sendiri, maka Allah mengembalikannya kepada tempat yang sangat hina. Tempat
inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka. Dan untuk menghindarinya,
maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang disebut dengan
“Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana anjuran dalam
ayat kedua di muka, dengan kalimat “Udzkurullah Dzikran Katsiira”… Sehingga
Salik (peserta suluk) dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah;
yaitu suatu pengenalan batin terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka,
sebagai perkataan pengabdian hamba kepada Allah, yang seolah-olah dapat
melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …).
Bukankah kita ingin dekat dengan Allah sedekat-dekatnya,
serta merasa dekat dengan-Nya? Oleh karena harus ada penyucian diri dengan
selalu berusaha membersihkan hati, supaya kita memperoleh jiwa yang tenteram
dan menjadi orang yang bahagia hidup di dunia dan akhirat. Seperti halnya
Rasulullah saw, beliau adalah pembesar dari seluruh ahli tasawuf yang berdaya
upaya dengan sangat kepada kesucian hati serta menjauhi dari sifat-sifat hati
yang jelek.
Jadi, seorang hamba bisa dekat dengan Allah, yaitu dengan
bertasawuf. Dengan demikian tasawuf memiliki Kedudukan yang penting dalam
ajaran Islam tergantung kita dalam mempelajari dan memahaminya.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu Tasawuf adalah suatu ilmu untuk mengetahui bagaimana
cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk
memporoleh kebahagian yang abadi. Pada awalnya tasawuf merupakan gerakan zuhud
(menjauhi hal duniawi) dalam Islam, yang dalam perkembangannya melahirkan
tradisi mistisme Islam yang mempunyai kedudukan sangat penting dalam ajaran
islam itu sendiri. Dalam hal ini
kedudukan Tasawuf berada pada sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memberi
warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan sendi Syari’ah Islam.
DAFTAR RUJUKAN
Asmaran. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali
Pers
Solihin, dkk. 2005. Akhlak Tasawuf. Bandung: Nuansa
Mahmud, Abdul Halim. 2001. Tasawuf di Dunia Islam Bandung:
Pustaka Setia
http://masBied.com/2010/02/ilmu-tasawuf.html di download
pada 22 Mei 2012 pukul 10.00
[1] Solihin, M. Anwar, M Rosyid. Akhlak Tasawuf (Bandung:
Nuansa. 2005) Hlm. 175
[2] Ibid. Hlm. 177
[3]
http://masBied.com/2010/02/ilmu-tasawuf.html di download pada 22 Mei 2012 pukul
10.00
[4] Drs. Asmaran As., M.A., Pengantar Studi Tasawuf.
(Rajawali Pers. 1996) Hlm. 176
[5] Mahmud, Abdul Halim. Tasawuf di Dunia Islam (Bandung:
Pustaka Setia 2001) hlm. 298
No comments:
Post a Comment