Tulisan
yang terbagi menjadi 4 bagian ini saya tulis untuk menjawab pertanyaan
dari beberapa orang pembaca baik yang dikirim melalui email saya (sufimuda@gmail.com)
maupun lewat komentar di blog.
Pertanyaanya apakah tasawuf harus
mengamalkan tarekat bagaimana kalau ilmu tasawuf tanpa terekat?
Disudut
kanan blog ini saya membuat sebuah poling tentang ini dengan pertanyaan
yang sama, “Apakah Belajar Tasawuf Harus Dibimbing Guru Mursyid?”.
Hasilnya (17 Maret 2012) dari 6.898 orang yang ikut poling sebanyak
6.286 atau 91,13% memberikan jawaban YA, 353 orang atau 5,12 %
memberikan jawaban TIDAK dan sisanya 259 orang atau 3,75% memberikan
jawaban TIDAK TAHU.
Dari
hasil poling tersebut memberikan gambaran bahwa sebagian besar pembaca
sufimuda adalah orang yang setuju bahwa untuk belajar tasawuf harus ada
pembimbing yaitu Guru Mursyid artinya sebagian besar pembaca disini
adalah orang-orang yang telah menemukan Guru Mursyid atau paling tidak
dari referensi yang pernah dibaca memberikan keyakinan kepadanya bahwa
dalam mengamalkan tasawuf harus menekuni tarekat dimana Guru Mursyid
adalah pemimpin yang selalu menuntun dan membimbing para murid dalam
setiap amal-amal zikir dengan demikian para murid akan terhindar dari
kesalahan.
Tarekat
di dalam ilmu Tasawuf ibarat sebuah bengkel tempat orang-orang
mempraktekkan apa yang menjadi teori di dalam ilmu Tasawuf sehingga
dihasilkan suatu produk seperti yang tertulis dalam kitab-kitab Tasawuf.
Tarekat di dalam Tasawuf juga ibarat sebuah laboratorium tempat
orang-orang yang mempelajari teori tasawuf mempraktekkan ilmunya dibawah
bimbingan orang yang telah ahli di bidangnya sehingga ketika dia keluar
dari laboratorium bisa meng-aplikasikan ilmunya ke dalam kehidupan
sehari-hari dengan demikian akan memberikan manfaat kepada dirinya,
keluarga dan lingkungannya.
Di
Laboratorium bernama Tarekat itu, para murid mempraktekkan segala ilmu
yang menjadi teori dalam tasawuf, lewat zikir dan ubudiyah, dimulai
dengan taubat kemudian berlanjut kejenjang berikutnya sehingga apa yang
disebut Ikhlas, Ridha, Kauf, Mahabbah dan lain-lain tidak sekedar
menjadi tulisan saja akan tetapi telah merasuk kedalam hati sanubarinya
dan akan dibawa kemana saja.
Ibarat
sebuah bengkel, seperti umumnya bengkel lain seringkali apa yang
dipraktekkan disana tidak seindah dan semudah dalam teori dan seringkali
sekilas seperti bertentangan dengan teori. Misalnya teori membuat
mobil, di dalam kitab mobil dijelaskan tentang cara membuat mobil dan
kalau kita hanya membaca teori satu malam akan siap akan tetapi jika
dipraktekkan di bengkel memerlukan waktu berbulan bulan barulah bisa
menghasilkan sebuah mobil. Disinilah diperlukan kesabaran dan ketekunan
dari murid untuk bisa menghasilkan karya terbaik dan tentu saja harus
mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Sang Ahli. Murid yang baik tidak
akan berdebat dengan Sang Ahli tentang teori-teori akan tetapi dia
mengikuti dengan penuh keyakinan apa yang diperintahkan oleh Sang Ahli
tanpa membantah sedikitpun.
Antara
teori dan praktek perbedaannya jauh bahkan sangat jauh, kalau sepintas
lalu dilihat aktifitas dalam bengkel seolah-olah bertentangan dengan
aturan dalam Kitab Induk Mobil, yang kita dengar adalah
kebisikan, suara palu, percikan api dan orang-orang yang terkesan tidak
ramah karena sibuk dengan urusannya masing-masing. Orang yang pertama
sekali masuk ke bengkel pasti heran tidak jarang langsung menolak apa
yang ada dalam bengkel, ada yang bertahan di hari pertama, minggu
pertama bahkan ada yang sudah satu bulan kemudian menyerah dan
menyatakan apa yang dilakukan di dalam bengkel adalah sia-sia bahkan dia
menyalahkan dengan mengatakan apa yang dilakukan di dalam bengkel tidak
sesuai dengan petunjuk KITAB SUCI MOBIL.
Di
dalam teori membuat mobil tidak disinggung sama sekali tentang percikan
api, kebisingan, orang-orang yang kurang peduli terhadap lingkungan
sekitar (karena fokus kepada tugas masing-masing) sehingga siapapun yang
pertama sekali masuk ke dalam bengkel akan terasa asing.
Pengalaman Saya di Tarekat
Begitu juga pengalaman saya ketika pertama sekali masuk ke Bengkel Tasawuf
bernama Tarekat, saya heran dan menolak semua kegiatan-kegiatan disana.
Saya dari kecil di didik di lingkungan Muhammadiyah tentu terkejut
ketika harus menghadirkan Mursyid ketika berzikir, bukankah zikir yang
ada dalam tasawuf itu bertujuan untuk mencapai ketenangan dan kedamaian
dalam rangka menggapai ridha Allah, lalu kenapa mesti diganggu dengan
harus menghadirkan sosok manusia bernama Mursyid?
Belum lagi harus membaca Kaifiyat
(tata cara zikir) yang isinya menurut saya tidak sesuai dengan apa yang
pernah saya baca dan pelajari. Kenapa mengucapkan Istighfar harus
dihadapan Mursyid atau diiktikadkan ada dihadapan Mursyid, kenapa harus
minta Syafaat (pertolongan) Guru Mursyid dan seterusnya. Belum lagi
sikap orang-orang di Tarekat yang selalu menganggap Gurunya paling
hebat, bukankah kedudukan manusia di mata Allah itu sama? Kenapa Guru
Mursyid harus diposisikan terlalu tinggi?
Selama
3 bulan terjadi pergolakan dalam diri saya dan hampir saja saya angkat
kaki dari Surau tempat saya belajar terekat. Kegiatan rutin di surau
adalah tawajuh (zikir bersama) setiap malam Selasa dan malam Jum’at dan
hari Minggu diadakan Khatam Tawajuh ba’da Asar. Kawan yang mengajak saya
masuk tarekat adalah kawan satu kampus dan dia begitu semangat setiap
ada kegiatan surau baik tawajuh rutin, khatam tawajuh maupun acara-acara
lain selalu menjemput saya di tempat kost. Pernah suatu malam ketika
saya sudah mulai ragu dengan tarekat berniat tidak ikut tawajuh dan
dengan diam-diam keluar dari kamar kost dengan tujuan kalau kawan yang
ngajak saya masuk tarekat datang tidak jumpa sehingga saya tidak ikut
tawajuh. Kebetulan ketika keluar dari kamar kost dan ingin kunci pintu,
kawan saya seperti biasa datang dengan sepeda motor tua memakai jas
hujan (kebetulan sedang hujan) dan dia mengajak saya ikut tawajuh. Saya
lihat wajah dia jadi kasihan juga, akhirnya malam itu saya ikut lagi
tawajuh dengan hati seper empat ikhlas.
Setelah
3 bulan saya menekuni tarekat kemudian saya mengalami
pengalaman-pengalaman ajaib yang belum pernah saya alami sebelumnya.
Pengalaman-pengalaman tersebut tidak saya ceritakan disini dan intinya
di hati saya diberi sebuah keyakinan oleh Allah bahwa kalau bukan ini
sebuah kebenaran tidak mungkin saya mengalami hal-hal seperti itu.
6
bulan kemudian saya mengikuti Suluk/Iktikaf di Surau Guru saya yang
jaraknya satu malam naik bus dari surau tempat saya masuk tarekat,
setelah itulah saya meyakini 100% bahwa yang saya jalani ini adalah
benar. Pengalaman dalam suluk sulit diceritakan lewat kata dan tulisan
dan saya merasakan bahwa saya sedang melaksanakan apa yang diperintahkan
Rasulullah SAW. Saya rajin berzikir dan jika ada hal-hal yang tidak
saya ketahui, saya memberikan sedekah kepada Guru dan semua
pertanyaan-pertanyaan yang berat sekalipun saya menemukan jawaban baik
langsung dari Guru maupun lewat kawan-kawan seperguruan bahkan jawaban
itu datang dari orang luar. Saya mendapat apa yang disebut sebagai salah
satu jaminan bagi orang berzikir yaitu Mendapat ilmu langsung dari
Allah yang sering disebut ilmu Laduni dimana Allah sendiri yang akan
mengajarkan kita.
Di
tahun pertama saya menekuni tarekat, banyak sekali hambatan dan
rintangan mulai dari masalah fisik sampai kepada masalah finansial.
Menjelang Suluk pertama saya mengalami sakit berat, diare selama 3 hari 3
malam tanpa henti dan tidak sembuh walaupun sudah ke dokter dan minum
obat dan nyaris saya merasakan mati. Ketika saya akan berangkat suluk
kembali bisikan-bisakan was-was datang ke dalam hati. Selalu ada bisikan
yang mengatakan bahwa apa yang saya ikuti adalah salah dan sesat. Tapi
syukur Alhamdulillah Allah masih berkenan membimbing dan menuntun saya
sehingga kemudian baru saya sadari bahwa Guru saya adalah seorang Wali
Allah, sosok yang saya cari sejak kecil.
Bersambung…
sumber : sufimuda.wordpress.com
No comments:
Post a Comment