Tuesday, 17 April 2012

Tasawuf Tanpa Tarekat (1)

Tulisan yang terbagi menjadi 4 bagian ini saya tulis untuk menjawab pertanyaan dari beberapa orang pembaca baik yang dikirim melalui email saya (sufimuda@gmail.com) maupun lewat komentar di blog.
Pertanyaanya apakah tasawuf harus mengamalkan tarekat bagaimana kalau ilmu tasawuf tanpa terekat?
Disudut kanan blog ini saya membuat sebuah poling tentang ini dengan pertanyaan yang sama, “Apakah Belajar Tasawuf Harus Dibimbing Guru Mursyid?”. Hasilnya (17 Maret 2012) dari  6.898 orang yang ikut poling sebanyak 6.286 atau 91,13% memberikan jawaban YA,  353 orang atau 5,12 % memberikan jawaban TIDAK dan sisanya 259 orang atau 3,75% memberikan jawaban TIDAK TAHU.
Dari hasil poling tersebut memberikan gambaran bahwa sebagian besar pembaca sufimuda adalah orang yang setuju bahwa untuk belajar tasawuf harus ada pembimbing yaitu Guru Mursyid artinya sebagian besar pembaca disini adalah orang-orang yang telah menemukan Guru Mursyid atau paling tidak dari referensi yang pernah dibaca memberikan keyakinan kepadanya bahwa dalam mengamalkan tasawuf harus menekuni tarekat dimana Guru Mursyid adalah pemimpin yang selalu menuntun dan membimbing para murid dalam setiap amal-amal zikir dengan demikian para murid akan terhindar dari kesalahan.
Tarekat di dalam ilmu Tasawuf ibarat sebuah bengkel tempat orang-orang mempraktekkan apa yang menjadi teori di dalam ilmu Tasawuf sehingga dihasilkan suatu produk seperti yang tertulis dalam kitab-kitab Tasawuf. Tarekat di dalam Tasawuf juga ibarat sebuah laboratorium tempat orang-orang yang mempelajari teori tasawuf mempraktekkan ilmunya dibawah bimbingan orang yang telah ahli di bidangnya sehingga ketika dia keluar dari laboratorium bisa meng-aplikasikan ilmunya ke dalam kehidupan sehari-hari dengan demikian akan memberikan manfaat kepada dirinya, keluarga dan lingkungannya.
Di Laboratorium bernama Tarekat itu, para murid mempraktekkan segala ilmu yang menjadi teori dalam tasawuf, lewat zikir dan ubudiyah, dimulai dengan taubat kemudian berlanjut kejenjang berikutnya sehingga apa yang disebut Ikhlas, Ridha, Kauf, Mahabbah dan lain-lain tidak sekedar menjadi tulisan saja akan tetapi telah merasuk kedalam hati sanubarinya dan akan dibawa kemana saja.
Ibarat sebuah bengkel, seperti umumnya bengkel lain seringkali apa yang dipraktekkan disana tidak seindah dan semudah dalam teori dan seringkali sekilas seperti bertentangan dengan teori. Misalnya teori membuat mobil, di dalam kitab mobil dijelaskan tentang cara membuat mobil dan kalau kita hanya membaca teori satu malam akan siap akan tetapi jika dipraktekkan di bengkel memerlukan waktu berbulan bulan barulah bisa menghasilkan sebuah mobil. Disinilah diperlukan kesabaran dan ketekunan dari murid untuk bisa menghasilkan karya terbaik dan tentu saja harus mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Sang Ahli. Murid yang baik tidak akan berdebat dengan Sang Ahli tentang teori-teori akan tetapi dia mengikuti dengan penuh keyakinan apa yang diperintahkan oleh Sang Ahli tanpa membantah sedikitpun.
Antara teori dan praktek perbedaannya jauh bahkan sangat jauh, kalau sepintas lalu dilihat aktifitas dalam bengkel seolah-olah bertentangan dengan  aturan dalam Kitab Induk Mobil, yang kita dengar adalah kebisikan, suara palu, percikan api dan orang-orang yang terkesan tidak ramah karena sibuk dengan urusannya masing-masing. Orang yang pertama sekali masuk ke bengkel pasti heran tidak jarang langsung menolak apa yang ada dalam bengkel, ada yang bertahan di hari pertama, minggu pertama bahkan ada yang sudah satu bulan kemudian menyerah dan menyatakan apa yang dilakukan di dalam bengkel adalah sia-sia bahkan dia menyalahkan dengan mengatakan apa yang dilakukan di dalam bengkel tidak sesuai dengan petunjuk KITAB SUCI MOBIL.
Di dalam teori membuat mobil tidak disinggung sama sekali tentang percikan api, kebisingan, orang-orang yang kurang peduli terhadap lingkungan sekitar (karena fokus kepada tugas masing-masing) sehingga siapapun yang pertama sekali masuk ke dalam bengkel akan terasa asing.
Pengalaman Saya di Tarekat
Begitu juga pengalaman saya ketika pertama sekali masuk ke Bengkel Tasawuf bernama Tarekat, saya heran dan menolak semua kegiatan-kegiatan disana. Saya dari kecil di didik di lingkungan Muhammadiyah tentu terkejut ketika harus menghadirkan Mursyid  ketika berzikir, bukankah zikir yang ada dalam tasawuf itu bertujuan untuk mencapai ketenangan dan kedamaian dalam rangka menggapai ridha Allah, lalu kenapa mesti diganggu dengan harus menghadirkan sosok manusia bernama Mursyid?
Belum lagi harus membaca Kaifiyat (tata cara zikir) yang isinya menurut saya tidak sesuai dengan apa yang pernah saya baca dan pelajari. Kenapa mengucapkan Istighfar harus dihadapan Mursyid atau diiktikadkan ada dihadapan Mursyid, kenapa harus minta Syafaat (pertolongan) Guru Mursyid dan seterusnya. Belum lagi sikap orang-orang di Tarekat yang selalu menganggap Gurunya paling hebat, bukankah kedudukan manusia di mata Allah itu sama? Kenapa Guru Mursyid harus diposisikan terlalu tinggi?
Selama 3 bulan terjadi pergolakan dalam diri saya dan hampir saja saya angkat kaki dari Surau tempat saya belajar terekat. Kegiatan rutin di surau adalah tawajuh (zikir bersama) setiap malam Selasa dan malam Jum’at dan hari Minggu diadakan Khatam Tawajuh ba’da Asar. Kawan yang mengajak saya masuk tarekat adalah kawan satu kampus dan dia begitu semangat setiap ada kegiatan surau baik tawajuh rutin, khatam tawajuh maupun acara-acara lain selalu menjemput saya di tempat kost. Pernah suatu malam ketika saya sudah mulai ragu dengan tarekat berniat tidak ikut tawajuh dan dengan diam-diam keluar dari kamar kost dengan tujuan kalau kawan yang ngajak saya masuk tarekat datang tidak jumpa sehingga saya tidak ikut tawajuh. Kebetulan ketika keluar dari kamar kost dan ingin kunci pintu, kawan saya seperti biasa datang dengan sepeda motor tua memakai jas hujan (kebetulan sedang hujan) dan dia mengajak saya ikut tawajuh. Saya lihat wajah dia jadi kasihan juga, akhirnya malam itu saya ikut lagi tawajuh dengan hati seper empat ikhlas.
Setelah 3 bulan saya menekuni tarekat kemudian saya mengalami pengalaman-pengalaman ajaib yang belum pernah saya alami sebelumnya. Pengalaman-pengalaman tersebut tidak saya ceritakan disini dan intinya di hati saya diberi sebuah keyakinan oleh Allah bahwa kalau bukan ini sebuah kebenaran tidak mungkin saya mengalami hal-hal seperti itu.
6 bulan kemudian saya mengikuti Suluk/Iktikaf di Surau Guru saya yang jaraknya satu malam naik bus dari surau tempat saya masuk tarekat, setelah itulah saya meyakini 100% bahwa yang saya jalani ini adalah benar. Pengalaman dalam suluk sulit diceritakan lewat kata dan tulisan dan saya merasakan bahwa saya sedang melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW. Saya rajin berzikir dan jika ada hal-hal yang tidak saya ketahui, saya memberikan sedekah kepada Guru dan semua pertanyaan-pertanyaan yang berat sekalipun saya menemukan jawaban baik langsung dari Guru maupun lewat kawan-kawan seperguruan bahkan jawaban itu datang dari orang luar. Saya mendapat apa yang disebut sebagai salah satu jaminan bagi orang berzikir yaitu Mendapat ilmu langsung dari Allah yang sering disebut ilmu Laduni dimana Allah sendiri yang akan mengajarkan kita.
Di tahun pertama saya menekuni tarekat, banyak sekali hambatan dan rintangan mulai dari masalah fisik sampai kepada masalah finansial. Menjelang Suluk pertama saya mengalami sakit berat, diare selama 3 hari 3 malam tanpa henti dan tidak sembuh walaupun sudah ke dokter dan minum obat dan nyaris saya merasakan mati. Ketika saya akan berangkat suluk kembali bisikan-bisakan was-was datang ke dalam hati. Selalu ada bisikan yang mengatakan bahwa apa yang saya ikuti adalah salah dan sesat. Tapi syukur Alhamdulillah Allah masih berkenan membimbing dan menuntun saya sehingga kemudian baru saya sadari bahwa Guru saya adalah seorang Wali Allah, sosok yang saya cari sejak kecil.
Bersambung…

sumber : sufimuda.wordpress.com

No comments:

Post a Comment