Saturday 30 December 2017

HIDUPKAN KALBU, MESKI DALAM KEADAAN TIDUR

HIDUPKAN KALBU, MESKI DALAM KEADAAN TIDUR
Dalam kitab Sirrul Asrar, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan bahwa jalan untuk wushul (sampai) kepada Allah adalah dengan menjaga amalan badan tetap berada di jalan yang benar dengan melakukan semua hukum syariat, baik di siang hari atau malam.

Menurut beliau, kita harus mendisiplinkan diri dengan berdzikir, baik secara jahr atau khafi (secara terang atau secara samar). Hukum berdzikir menurut Syekh adalah wajib dan harus dilakukan oleh semua manusia yang ingin dekat kepada Allah.

Allah SWT berfirman:
"Ingatlah Allah dalam keadaan berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (QS Ali Imran (3): 191).

Dzikir harus disertai dengan kesucian lahir dan batin agar menghasilkan cahaya dzikir di dalam batin. Dzikir dilakukan dalam kesadaran yang terus menerus. Bahkan, saat kita dalam keadaan tidur. Karena itu, sebelum tidur pun kita diperintahkan berdoa, berdzikir, bertasbih, dan membaca ayat Al-Quran. Kita harus tetap menghidupkan kalbu setiap saat meskipun dalam keadaan tidur.

Menurut Syekh, sebagaimana kalbu yang hidup, ia tidak pernah tidur, maka janganlah mengira bahwa kalbu itu akan mati. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
"Kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur,"(HR Al-Bukhari)

Maka, mari niatkan diri kita untuk berdzikir dalam setiap keadaan, selalu menghidupkan kalbu dengan kesadaran ruhani yang selalu merindukan pertemuaan dengan Rabb. Mari menghidupkan kalbu dengan tahlil, tasbih, tahmid, istighfar dan shalawat Nabi.
Semoga bermanfaat.
Salam

Halim Ambiya

--Disarikan dari kitab Sirrul Asrar, karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Friday 29 December 2017

PESAN SUCI SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

PESAN SUCI SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Bagi orang-orang yang benar-benar jujur (shadiq), dia tidak dapat bergerak ke belakang. Dia selalu bergerak ke depan. Dia hanya memiliki depan, tanpa belakang. Dia tak pernah berhenti berprilaku jujur dan ikhlas sehingga setitik debunya menjadi gunung, setetes airnya menjadi lautan, jatahnya yang kecil menjadi sangat besar, lampunya menjadi matahari, dan bungkusnya menjadi isi.

Jika engkau beruntung bertemu dengan seseorang yang benar-benar jujur seperti itu, maka engkau harus selalu dekat dengannya kemanapun ia membawamu. Jika engkau beruntung bertemu dengan seseorang yang mempunyai obat untuk menyembuhkan penyakitmu, maka engkau harus mendekatinya sepanjang waktu.

Jika engkau cukup beruntung bertemu dengan seseorang yang bisa menunjukkan kepadamu bagaimana cara menemukan kembali kesempatan yang telah engkau sia-siakan pada sesuatu yang tak lebih baik daripada sampah, maka engkau harus mendekatinya—benar-benar dekat!

Tapi, boleh jadi, engkau tak akan pernah mengenal orang-orang yang seperti itu, sebab mereka tak lebih dari segelintir manusia yang langka. Bungkus luarnya mungkin banyak, tetapi isinya hanya sedikit. Cangkangnya mungkin berada di tempat-tempat pembuangan sampah umum, tetapi isinya berada di gudang pribadi sang pemilik tanah.

Setiap kali hati diisi dengan hal-hal duniawi, syahwat, hawa nafsu badani, maka hati itu akan menjadi hanya sekadar cangkang, yang tak akan cocok untuk tujuan apa pun di luar dunia yang rendah ini. Selama engkau masih menemukan dalam hatimu sifat dan perbuatan kotoran makhluk, maka engkau akan merasa menderita karena hukuman.

Allah SWT berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Pemberi rezeki, Yang Mahakuat lagi Mahakokoh.” (QS Adzariyat: 56-58)

—Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

Jalan Terakhir Barshisha

JALAN TERAKHIR BARSHISHA
Alkisah, hiduplah seorang yang sangat alim dan tekun beribadah, ia bernama Barshisha. Selama 220 tahun ia beribadah kepada Allah Swt. Selama itu pula ia tak pernah bermaksiat sedikit pun. Ia juga merupakan orang yang sangat ditokohkan masyarakat di seluruh negeri. Konon, ketinggian ilmu dan ketekunan ibadahnya nyaris tak tertandingi.

Popularitas Barshisha menggema hingga ke pelosok negeri. Ia menjadi tempat orang untuk bertanya dan berguru ilmu pengetahuan agama. Setiap hari selalu saja ada yang datang dari berbagai daerah untuk menitipkan anaknya atau sekedar untuk meminta nasihatnya. Maka tak heran jika ia mempunyai 60.000 murid. Barshisha menyediakan asrama khusus untuk murid-muridnya dalam satu kompleks pendidikan, layaknya seperti pondok pesantren di zaman ini.

Tak hanya itu, kemasyhuran Barshisha dalam ilmu batin pun menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap orang yang datang kepadanya. Murid-murid Barshisha yang telah mencapai tingkat tinggi di perguruan itu dikabarkan bisa terbang ke angkasa tanpa menggunakan bantuan teknologi canggih. Bahkan, popularitas Barshisha tidak hanya dikenal oleh penghuni bumi, namun ia juga dikenal oleh seluruh penghuni langit. Mereka sangat kagum dan bangga dengan pencapaian ibadah yang dilakukannya.

Karena kekaguman malaikat-malaikat terhadap Barshisha terlalu berlebihan, Allah Swt. menegur mereka, “Mengapa kalian terlalu mengaguminya? Sesungguhnya Aku lebih tahu daripada kalian tentang apa-apa yang tidak kalian bayangkan sebelumnya. Barshisha akan mati dalam keadaan kafir, ia akan menjadi penghuni neraka selamanya.”

Mendengar firman Allah seperti itu Iblis merasa tertantang. Barshisha yang selama ini susah ditundukkan, kini menjadi target sasaran bangsa Iblis. Seolah-olah ini saatnya bagi mereka untuk membuktikan bahwa mereka mampu mengalahkan Barshisha, ahli ilmu dan ibadah itu.

Iblis datang ke kediaman Barshisha dengan menyamar. Ia mendekati tempat ibadahnya dengan pakaian tenun yang memikat perhatian. Gaya dan penampilan persis seperti seorang sufi ahli ibadah. “Siapa gerangan dirimu? Apa tujuanmu datang ke sini?” tanya Barshisha kepada Iblis itu. “Perkenalkan, aku adalah seorang ahli ibadah yang datang untuk membantumu beribadah kepada Allah.”

Perkenalan itu pun memikat perhatian Barshisha. Tutur kata Iblis itu sangat sopan dan wawasan keilmuannya terlihat sangat luas. “Barang siapa yang ingin beribadah kepada Allah maka Dia pun pasti akan mencukupinya,” demikian salah satu nasihatnya.

Iblis pun diberi tempat khusus di rumah Barshisha, layaknya tamu-tamu terhormat lainnya. Ia memperlihatkan cara beribadah yang belum pernah dilakukan orang di negeri mana pun. Iblis itu beribadah, shalat dan zikir selama 3 hari 3 malam, tanpa makan, tanpa minum. Bahkan Barshisha sendiri melihatnya selama 3 hari itu pula sang tamu tidak tidur.
Karena rasa heran dan penasaran yang amat sangat, Barshisha memberanikan diri untuk bertanya, “Mengapa engkau sanggup tidak makan, tidak minum selama itu? Padahal, selama 220 tahun aku beribadah tak pernah aku meninggalkan makanan dan minuman. Kalaupun aku berpuasa, aku selalu berbuka di waktu malam. Aku selalu makan, minum, dan tidur layaknya manusia biasa.”

“Aku merasa sangat berdosa kepada Allah, sehingga aku tak bergairah untuk makan-minum, apalagi tidur. Setiap kali datang rasa lapar dan kantukku saat itu pula aku teringat dosaku,” tutur Iblis.

“Lalu bagaimana caranya agar aku bisa menyamaimu?” tanya Barshisha.
“Benar kau ingin menyaimaiku?” tanya Iblis.
“Benar. Tunjukkanlah caranya kepadaku!” desak Barshisha.

“Baiklah. Sekarang cobalah kau bermaksiat kepada Allah, lalu bertobatlah kepada-Nya. Ingatlah, Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Tobat. Kau akan menikmati kelezatan ibadahmu jika sebelumnya kau pernah melakukan dosa,” ungkap Iblis.
“Lalu, cara apa yang harus kuambil?” tanya Barshisha.

“Berzina!” kata Iblis.
“Tidak. Tak mungkin aku melakukan itu,” jawab Barshisha.
“Membunuh seorang Mukmin?” desak Iblis.
“Itu juga tak mungkin. Aku tak sanggup melakukannya,” Barshisha.

“Bagaimana kalau meminum arak hingga mabuk. Ini kelihatan ringan, sangat mudah dilakukan, tapi cukup efektif membuat Allah marah dan memusuhimu,” rayu Iblis.
“Wah, kalau ini memang ringan. Kemana aku mencari?” tanya Barshisha. Lalu Iblis pun menunjukkan ke suatu kota yang biasa menjual arak dan minuman keras yang lain.

Singkat cerita, Barshisha menemukan sebuah warung minuman dengan pelayan yang sangat cantik. Atas petunjuk Iblis, Barshisha pun membeli minuman haram itu dan meminumnya hingga mabuk. Dalam keadaan tak sadarkan diri ia bahkan berzina dengan wanita pelayan itu. Tanpa diduga sebelumnya, suami pelayan itu datang dan memergoki mereka sedang berzina. Karena terbakar api cemburu yang hebat, lelaki itu menghajar Barshisha hingga babak belur, bahkan hampir-hampir mati.

Iblis itu datang dengan menyamar sebagai manusia biasa. Ia menyeret Barshisha ke pengadilan untuk dihukum atas perbuatannya. Akibatnya, hakim memutuskan Barshisha bersalah, lelaki yang dikenal ahli ibadah itu mendapat hukuman 80 kali cambukan untuk perbuatan meminum arak, dan 100 kali cambukan karena telah berzina. Tak hanya itu, Barshisha juga disalib di tempat umum yang disaksikan banyak orang yang mengenalnya.

Ketika Barshisha dalam keadaan tersalib, Iblis datang dengan penyamaran sebagai manusia, tapi dalam gaya dan penampilan berbeda. “Bagaimana keadaanmu, Barshisha?” tanya Iblis. “Beginilah penderitaan bagi orang yang telah mematuhi penjahat dan pendosa,” jawab Barshisha.

Iblis itu tertawa sinis. Mencibirkan muka dengan keangkuhan, sambil mengacung-ngacungkan tangan ke arah muka Barshisha ia berkata, “Aku mengalami penderitaan dan musibah hingga 220 tahun lamanya karena ulahmu! Sekarang apa maumu? Apakah kau mau kulepaskan dari hukuman ini?”
“Cepatlah, turunkan aku dari tiang salib ini! Aku akan menuruti semua kehendakmu!” pinta Barshisha.

“Bersujudlah sekali saja kepadaku!” desak Iblis.
“Tak mungkin. Aku masih tersalib, tak bisa melakukannya. Turunkan saja aku dulu!” rengek Barshisha.
“Kau tak perlu turun dulu. Lakukanlah sujud itu dengan isyarat saja!” desak Iblis lagi.
Akhirnya Barshisha pun menuruti permintaan Iblis, ia bersujud kepada Iblis dengan satu isyarat saja. Sungguh perbuatan terkutuk yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang Barshisha. Ia meninggal dunia sejurus setelah perbuatan kafir dilakukannya. Na’udzu billahi min dzalik.

---Untaian cerita berasal dari Kitab Hayatul Qulub. Naskah ini diterjemahkan oleh Halim Ambiya dari Kitab Durratun-Nashihin karya Syaikh Usman.

Menolak ajaran Tasawuf

Jika sampai saat ini masih ada orang yang menolak Tasawuf dan segala praktik dzikir dalam Tarekat adalah hal yang wajar karena ilmu dalam agama tersebut berlapis atau bertingkat. Antara satu tingkat dengan tingkat lain kelihatan berbeda namun pada hakikatnya sama. Anak kelas 1 SD berhitung dengan memakai jari tangan karena jumlah hitungan masih bisa dihitung oleh tangan, cara ini tidak lagi diperlukan oleh anak SMP karena hitungan mereka sudah lebih banyak dan rumit. Cara membaca anak SD dengan suara keras dan nyaring tidak berlaku di SMP apalagi di Perguruan Tinggi tapi tujuannya sama yaitu membaca agar memperoleh ilmu.

Imam al-Ghazali sebagai contoh awalnya tidak sepakat dengan pemahaman Tasawuf tapi kemudian Beliau menerimanya. Al-Ghazali berkata, “Pada awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang saleh dan derajat-derajat yang dicapai oleh para ahli makrifat. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan mursyid-ku, Yusuf an Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku memperoleh karunia-karunia ilahiyah”.

Kalau anda melihat ada ustad berpendapat bahwa tasawuf sebagai ajaran menyimpang dari Islam, itu tidak aneh karena seperti saya kemukakan di awal tulisan bahwa agama itu berlapis, kalau di SD anda benar maka belum tentu di SMP cara dan pemahaman anda tetap benar. Imam al-Ghazali dengan tegas mengatakan, “”Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab tidak seorang pun terbebas dari aib atau kesalahan kecuali para nabi”.

Berikut saya kutip nasehat dari Imam al-Ghazali tentang betapa pentingnya seorang memiliki Guru dalam menempuh jalan kepada Allah SWT, agar selamat dan sampai kepada tujuan.

“Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang mursyid dan pendidik spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak-akhlak yang tercela dan menggantinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali dia melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan sebelum Rasulullah Saw. wafat, Beliau telah menetapkan para khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang mursyid.”

“Murid membutuhkan seorang mursyid atau guru yang dapat diikutinya, agar dia menunjukkannya ke jalan yang lurus. Jalan agama sangatlah samar dan jalan-jalan Syetan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika seseorang yang tidak mempunyai Syaikh yang membimbingnya, maka pasti Syetan akan menggiringnya menuju jalannya. Barang siapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka dia telah menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh sendiri. Pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia dapat bertahan hidup dan berdaun, dia tidak akan berubah. Yang menjadi pegangan seorang murid adalah Syaikhnya. Maka hendaklah dia berpegang teguh kepadanya.”

“Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya. Barang siapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala penyakit. Apabila dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun mayoritas manusia tidak dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat melihat kotoran di mata saudaranya. Tapi dia tidak dapat melihat kotoran di matan

Tasawuf dan Ustads Abdul Shomad

Tasawuf melembutkan dan menjernihkan hati,  menguatkan moral dan tidak mudah tergoda rayuan manisnya dunia..


http://www.postmetro.id/2017/12/kisah-seorang-syeikh-yang-ternyata-kakek-ustadz-abdul-somad.html#.WkXeXdCTGr0.twitter



POSTMETRO – Siapa sangka, di balik pemahaman ilmu yang mendalam soal Islam, ternyata Ustadz Abdul Somad terlahir dari keturunan seorang ulama besar, yaitu Tuan Syekh Silau Laut. Siapa sebenarnya Tuan Syekh Silau Laut?

Sejarah dan kisah Tuan Syeikh Silau Laut yang merupakan kakek dari ulama yang mengajar dan berkiprah di Riau itu.

Tuan Syekh Silau Laut bernama lengkap Syekh Abdurrahman Urrahim bin Nakhoda Alang Batubara. Berdasarkan catatan riwayat Silau Laut yang dipublish di http://omtato.blogspot.co.id, Syeikh Silau Laut dilahirkan di daerah Batubara (sekarang Desa Tanjung Mulia Kecamatan Tanjung Tiram Batubara, Sumatera Utara) pada tahun 1858 atau 1275 Hijriyah.

Ayahnya bernama Nakhoda Alang bin Nakhoda Ismail, keturunan dari Tuk Angku Mudik Tampang keturunan dari Tuk Angku Batuah yang berasal dari daerah Rao (perbatasan Mandailing Natal dengan Sumatera Barat). Gelar ‘nakhoda’ di awal nama ayahnya itu profesinya sebagai Nakhoda di sebuah kapal tongkang miliknya sendiri. Kapal itu digunakannya untuk membawa barang-barang dagangan antarpulau bahkan Malaya (Malaysia).

Ibunya bernama Naerat berasal dari Kampung Rantau Panjang (Kecamatan Pantai Labu Deli Serdang, Sumatera Utara). Beliau adalah anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu: Abas, Siti Jenab, Abdurrahan, Abdurrahim.

Sejak kecilnya, Abdurrahman dikenal memiliki sifat pemberani, berkemauan keras, pendiam, cerdas dan tekun belajar. Ketika berumur 6 tahun, orang tuanya memasukkan belajar mengaji pada salah seorang guru di Kampung Lalang Batubara.

Saat itu pribadinya mulai nampak sebagai ciri-ciri anak yang saleh. Sebab selain belajar agama dan mengaji, ia sering pula berkhalwat (mengasingkan diri untuk berzikir mengingat Allah Tuhan Maha Pencipta). Ia suka berkhalwat sejak usia 15 tahun.

Setelah menginjak dewasa sekitar 17 tahun, Abdurrahman ingin memperdalam ilmu Islam. Dengan memohon izin kepada kedua orang tuanya, ia pun pergi merantau ke daerah asal para pendahulunya di Minangkabau tepatnya di Bukit tinggi.

Di sana, ia berguru kepada seorang ulama yang cukup dikenal ketika itu bernama Syekh Jambek. Di samping ia mempelajari ilmu-ilmu syari’at dan ilmu fiqih, Abdurrahman lebih menekuni ilmu hakikat yaitu tauhid dan tasawuf.

Tak hanya ilmu syariat, Tuan Syekh Silau Laut saat remajanya juga meminati ilmu beladiri (silat). Untuk mempelajari ilmu bela diri ini ia belajar kepada salah seorang ahli beladiri yang cukup dikenal di tanah Minangkabau bernama Tuk Angku Di Lintau.

Dalam usahanya untuk membekali dirinya dengan ilmu bermanfaat, Syekh Silau Laut juga belajar ke Aceh, namun belum diketahui daerah dan gurunya tempat ia belajar.

Saat usia remaja itu, Syekh Silau Laut merasa masih kurang puas dengan ilmu yang dimilikinya. Tidak lama setelah ia pulang dari Minangkabau dan Aceh, salah seorang Pakciknya bergelar Panglima Putih membawanya merantau ke negeri Fathani (Thailand). Atas restu kedua orang tuanya, ia pun berangkat untuk menambah ilmu Agama Islam.

Di dalam pelayarannya, Abdurrahman muda (Syekh Silau Laut) menunjukkan kemahirannya dalam ilmu silat kepada para penumpang kapal. Ia tidak mengetahui kalau di antara mereka ada rombongan Sultan Kedah yang akan pulang ke negerinya.

Di Negeri Fathani, Abdurrahman muda belajar kepada salah seorang ulama yang cukup dikenal. Ula ini bernama Syekh Wan Mustafa dan anaknya bernama Syekh Daud Fathani.

Selama berada di sana, Abdurrahman lebih banyak belajar ilmu tauhid, ilmu tasawuf dan ilmu hikmah/ketabiban. Di samping belajar, ia ditugaskan gurunya pula untuk mengajar.

Ketika berada di Fathani, ia didatangi utusan dari Kedah dengan maksud mengundangnya datang ke negeri Kedah. Alasannya, Sultan Kedah ingin melihat kemahirannya dalam ilmu silat di hadapan Hulubalang, prajurit dan rakyat negeri Kedah.

Abdurrahman muda pun memenuhi undangan itu dengan terlebih dahulu memohon restu dari gurunya. Sesampainya di negeri Kedah, sesudah beberapa hari lamanya diadakanlah acara perang tanding untuk memilih kepala hulu balang kesultanan Kedah.

Abdurrahman yang sengaja diundang untuk perang tanding tersebut, berhadapan dengan Panglima Elang Panas yang berasal dari Siam. Dengan kuasa dan izin Allah, Abdurrahman muda menang dalam perang tanding tersebut.

Lalu, Sultan Kedah pun menawarkannya untuk menjadi Kepala Hulubalang Kesultanan Kedah. Abdurrahman menerima tawaran itu, kemudian ia dinobatkan dan menjabat selama 7 tahun berturut-turut.

Menurut riwayat, beliau menerima gaji 60 Ringgit setiap bulannya. Dalam perantauannya di Fathani dan Kedah, beliau sempat pula belajar di Kelantan.

Abdurrahman menyadari bahwa cita-citanya semula adalah untuk menjadi seorang ulama yang akan mengembangkan agama Islam dan mengabdikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat negrinya.

Maka dari itu, ia meletakkan jabatannya sebagai kepala hulubalang Kesultanan Kedah lalu ia pulang kembali ke negeri asalnya di Batubara dijemput Abangnya bernama Abbas.

Setelah berada kembali di Batubara, ia mulai mengamalkan ilmunya untuk melakukan dakwah dengan mengisi pengajian yang ada di Batubara dan di daerah Serdang (sekarang Deli Serdang). Beliau dikenal masyarakat dengan panggilan Lebai Deraman.

Ketika berdakwah di daerah Serdang, ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis Serdang bernama Maimunah. Sewaktu berada di Serdang beliau mengatasnamakan alamatnya melalui kemenakannya mufti Ahmad Serdang. Dan waktu senggangnya diisinya dengan “berkhalwat” di seberang sungai Serdang (sekarang Sungai Ular).

Pada masa Abdurrahman berdakwah dan menghidupkan pengajian di Batubara dan Serdang. Sebagian besar muridnya saat itu adalah nelayan. Para muridnya ini melaporkan bahwa mereka sering diganggu oleh bajak laut yang bermukim di pulau jemur sehinga mereka tidak aman mencari nafkah di Selat Melaka.

Mendengar laporan muridnya, Abdurrahman dan seorang kerabatnya bernama HM Zein berangkat membasmi para bajak laut tersebut dari dari Pantai Cermin, Serdang Bedagai.

Tuan Syekh Silau Laut selain berguru kepada Tuan Baqi dari Langkat, Kedah, Kelantan, dan Fathani, Beliau juga menuntut ilmu ke Makkah selama tujuh tahun. Di Makkah berguru kepada Syekh Daud Fathani, seorang ulama Tareqat Syattariah.

Seusai menimba ilmu di Mekkah, Tuan Syekh Silau Laut kembali ke Sumatera dan mengembangkan Tareqat Syattariah di daerah Silau Laut hingga wafat pada 2 Jumadil Awal 1360 H atau 28 Februari 1941, dalam usia 125 tahun.

Tuan Syekh Silau Laut dimakamkan di Desa Silau Laut. Di dekat makamnya terdapat makam sang istri bernama Hj Maryam dan dua anaknya yaitu Syekh Muhammad Ali dan Haji Abdul Latief.

Semasa hidupnya beliau adalah tokoh yang tidak hanya dihormati anggota jamaah Syattariah, namun para bangsawan Serdang maupun Asahan memberi perlakuan khusus terhadapnya.

Wujud dari perhatian para penguasa Asahan dan Serdang itu antara lain berupa pembuatan jalan menuju Kompleks Tareqat Syattariah pimpinan Syekh Silau Laut. Awalnya adalah jalan setapak yang dirintis oleh Sultan Asahan yang kemudian diperlebar dan diperkeras atas bantuan Sultan Serdang.

Seorang pengagum Syekh Silau Laut yang berasal dari Kisaran, Sumatera Utara, Ahmad Fauzi, mengaku telah menyempatkan diri berziarah ke makam Syekh Silau Laut.

Dia bercerita bahwa Syekh Silau sangatlah berjasa dalam mmenyebarkan Islam di bumi Asahan maupun di beberapa negara di Asia. Kisah sejarah dan perjuangan beliau dalam berdakwah sangat banyak.

Tak tangguung-tanggung negara tetangga yaitu Thailand, Malaysia, dan negara lainnya sampai datang berziarah ke makam Syekh Silau Laut. Ini bertanda bahwa Syekh Silau Laut berpindah tempat dalam menebarkan dan mengajarkan Agama Islam.

Ustaz Abdul Somad juga mengapresiasi kisah perjalanan hidup ulama besar Asahan yang juga kakeknya tersebut. Ulama lulusan Mesir dan Maroko ini mengaku terharu saat membaca riwayat tersebut.

“Saya Abdul Somad bin Hj Rohana binti Siti Aminah binti Syekh Abdurrahman Silau (Syekh Silau Laut). Senang dan terharu membaca riwayat ini” demikian tulisnya menanggapi riwayat hidup kakeknya tersebut. [bdn]

Tuesday 26 December 2017

Agenda Safari Dakwah Nasional Jilid II

Agenda Safari Dakwah Nasional Jilid II

Maulana Syekh Assyarif Dr. Yusri Rusydi Assayyid Jabr Al-Hasani
(Mursyid Thariqah Yusriyyah Shiddiqiyah Syadziliyah, Kairo-Mesir)

• Minggu – Senin, 7-8 Januari 2018
Pendopo Gubernur NTB
Jl. Pejanggik No.12, Pejanggik, Kec. Mataram, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat
Agenda: Khataman dan ijazah Kitab Al-Arba'in An-Nawawiyah Karya Imam Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi ad-Dimasyqi
CP: Ust. Fauzan Zakaria (+62 878-6555-0001)

• Senin, 8 Januari 2018
PP. Darunnahdlatain Nahdlatul Wathan
Jl. Zainuddin Abdul Majid No.70, Pancor, Selong, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat
Agenda: Halaqah Ilmiyah
CP: Ust.Irzani (+62 817-369-516)

• Rabu, 10 Januari 2018
Darussunnah Internasional Institute for Hadits Sciences
Jl. SD Inpres No.11 Pisangan Barat Ciputat, Tangerang Selatan Banten
Agenda: Khataman dan Ijazah Kitab Bulugh al-Maram Karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani
CP: Ust. Ibnu Sina (+62 812-9732-4895)
Kamis-Minggu,

• 11-14 Januari 2018
Zawiyah Arraudhah
Jl.Tebet Barat VIII No.50 Tebet Jakarta Selatan DKI Jakarta
Agenda: Khataman Risalah Assayyid Abdullah bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari ( Husnu al-Thalatthuf fi Bayani Wujubi Suluki at-Tashawwufi, Irsyad at-Thalib an-Najib ila ma fi al-Maulid an-Nabawi min al-Akadzibi, An-Nafhah al-Ilahiyyah fi as-Sholati ala Khoiri al-Bariyyati, Syarh as-Shalawat al-Yusriyah wa Asmaul Husna karya Maulana Syekh Yusri Rusydi Sayid Jabr al-Hasani)
CP: Sdri. Anisya Khairina (+62 877-8805-8845)

• Minggu-Senin, 14-15 Januari 2018
PP. Abu Manshur
Jl. Syekh Dzatul Kahfi No.66 Weru Lor, Weru Cirebon Jawa Barat
Agenda: Maulid Nabi & Khataman dan Ijazah Kitab Al-Arba'in An-Nawawiyah Karya Imam Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi Ad-Dimasyqi
CP: Ust.H. Muhammad Alimuddin (+62 819-2990-0011), Ust. Rifai (+62 852-2102-2609)
Selasa-Rabu,

• 16-17 Januari 2018
PP. Amanatul Ummah
Jl. KH. Abdul Chalim No. 1 Kembang Belor, Pacet Mojokerto Jawa Timur
Agenda: Khataman dan Ijazah Kitab al-Arbain al-Ghumariyah Karya Assayyid Abdullah bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari
CP: Ust. Thabrani Basya (+62 822-2652-5651)
Kamis-Minggu,

• 18-20 Januari 2018
PP. Progresif Bumi Shalawat
Jl. Kiai Dasuki No.1 Lebo, Surabaya Jawa Timur
Agenda: Workshop Tasawuf Internasional Kajian dan Ijazah Kitab al-Hikam al-Atho’iyah Karya Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari
CP: Ust. Amin (+62 813 3035-6545), Ust.Khusnan (+62 856 4535-5580)

Narahubung Nasional: Mabda Dzikara (WA: +201156028543)

Thursday 21 December 2017

KH Dr. Luqman Hakim

Bagi Author berkenalan dengan KH Dr. Luqman Hakim(berjas hitam) di tahun 1999 adalah sebuah anugerah yang tiada tara. Keilmuannya tentang tasawuf begitu dalam, dan dengan kesabaran yang dalam, authordiperkenalkan tentang tasawuf. Setahun setelah belajarAl-Hikam dengannya, Author diberikan kesempatan bersama-samanya mengantar edisi pertama majalah Sufi ke Guru Mursyid yang Kamil Mutakamil menempuh perjalanan hampir 1.000 km dari Jakarta.

Tulisan ringan beliau tentang hakekat dan syariat terasa lebih mudah buat menjelaskan kesalahpahaman selama ini tentang tasawuf, silahkan disimak...

Sebagian orang sering tumpang-tindih dalam memahami tasawuf dan tarekat (thariqah). Kadang, keduanya juga dianggap berdiri sendiri dan terpisah. KH Luqman Hakim yang dikenal sebagai pakar sekaligus pelaku thariqah membeberkan mengenai tasawuf, thariqah, mursyid, mu’tabaroh dan ghoiru mu’tabaroh, dan beberapa hal mengenai thariqah.

Berikut petikan wawancara Abdullah Alawi dari NU Online bersama KH Luqman Hakim beberapa waktu lalu dalam sebuah acara pertemuan para sufi dunia di Jakarta yang diselenggarakan oleh PBNU.

Bagimana kaitan antara tasawuf dan thariqah?

Orang yang bertasawuf tapi tidak bertarekat, itu nol. Orang bertoriqoh, tapi tak bertasawuf, juga nol.

Penjelasannya bagaimana?

Kalau orang bertasawuf saja, tapi tidak berthariqah, dia akan sulit mengamalkan ilmunya. Jadi, ibarat begini, untuk masuk ke dalam Masjidil Haram, lho pintunya kok banyak banget ini. Padahal dia kan butuh satu pintu saja untuk masuk. Nah, kalau dia ngawur, malah dia ingin manjat. Masjidil Haram masa dipanjat. Padahal udah ada pintunya. Atau begini, orang banyak sekali memiliki bumbu. Bumbunya sudah lengkap. Ini ilmunya sudah lengkap. Gimana ya, ngulek ini? Oh, dia butuh seorang pemandu. Kalau bikin sayur asem itu, ini bumbunya. Kalau sayur lodeh itu, ini bumbunya. Kalau dia ngawur, wah, saya punya bumbu lengkap. Saya bikin makanan yang lengkap juga. Semua bumbu diulek semua di situ. Begitu dimasak, rasanya jadi heran. Nggak kemakan. Banyak orang mabuk dia, sinting dia, nah, itu syetan masuk.

Tapi kalau sebaliknya, thariqah tanpa ilmu tasawuf itu bagaimana?

Artinya dia, ibaratnya, dia nggak tahu makanan itu beracun apa nggak. Dia nggak tahu porsi maknnya seberapa. Padahal kalau anda misalnya, mas ini satu meja ini berbagai makanan untuk anda. Kalau orang tidak punya tasawuf, ini milik saya semua. Makan semua kalau begitu. Keracunan dia. Padahal yang dibutuhkan satu piring. Ambil saja yang pas. Udah. Walaupun itu milik anda semua. Masak anda makan semua? Kalau nggak ada ilmunya, bisa-bisa begitu, kan.

Kalau sudah berthariqah, bukannya sudah berguru, dan kalau sudah berguru, bukannya secara otomatis sudah dibimbing?

Artinya, kalau gurunya, pasti sudah bertasawuf. Muridnya juga dibimbing bertasawuf. Diajarin ngaji, ini itu, itu sekaligus bertasawuf. Maksudnya begitu.

Di NU ada Jam’iyah Ahlu Thoriqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman). Nah, di Jatman terdiri dari berbagai thariqah. thariqahnya yang mu’tabaroh. Berarti kalau ada mu’tabaroh ada yang ghairu mu’tabaroh

Jadi, tarekat itu begini, mu’tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu hanya soal silsilah, sanad. Ada yang disebut tidak mu’tabaroh karena ada toriqoh yang sanad tidak jelas sampai ke Rasulullah. Kalau silsilah sanadnya ‘an ini ‘an ini sampai Rasulullah, jelas betul, sohibul musnid ini bener-bener diakui, oh ya, ini memang benar dari Rasulullah. Misalnya orang bikin sanad sendiri, nggak jelas, nggak dikenal semua, ya nggak mu’tabar. Gitu aja. Seperti hadist sohih, daif, hasan dan seterusnya.

Yang berhak mengatakan mu'tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu siapa?

Itu kesepakatan kaum sufi, seperti kesepakatan ahli hadis. Ahli hadist sendiri menentukan ini sahih, ini daif, itu kan bukan dari Kanjeng Nabi. Itu kan kesepakatan komunitas aja.

Setuju dengan adanya label ghair mu’tabaroh kepada kalangan sufi tertentu?

NU menolak memasukan sebagai toriqoh mu’tabaroh karena sanadnya ada yang tidak sampai Rasulullah. Jadi seperti itu. Banyak orang, oh saya mau bikin majlis zikir, itu bagus. Tetapi tidak disebut sebagai toriqoh, kan begitu aja. Jadi beginilah, di toriqah itu kan ada amaliyahnya. Amaliyahnya itu memang dari Rasulullah.

Diajarkan langsung?

Iya. Melalui zikir. Zikirnya begini. Rasulullah dulu mengajarkan kepada para sahabat itu ada yang satu per satu dipanggil. Ada yang lima orang dipanggil. Sepuluh orang dipanggil. Nah, dari masing-masing itu, mengajarkan pula kepada tabi’in ada yang satu per satu. Nah, ini kenapa sehingga toriqoh itu jadi banyak.

Tapi kenapa penamaan thariqah, misalnya pas zaman Syeikh Abdul Qodir, sementara dia lahir jauh masa Nabi?

Makanya penamaan itu pun tidak mutlak. Suatu ketika, sebenarnya alurnya ini sama dengan Syekh Abdul Qodir, tapi suatu ketika tokoh utamanya, misalnya Tijani, syekh Tijani. Padahal dia sebelumnya, adalah orang Qodiriyah. Itu contohnya. Jadi, ada yang alurnya nanti sanadnya ada yang melalui Abu Bakar, melalui Sayidina Anas, Sayidina Ali. Nah, ini sanadnya itu tadi, sayidina Umar, sayidina Utsman pun ada. Ada yang Uwais al-Qorony, ada. Nabi itu kenapa berbeda-beda ngajarin zikir karena masing-masing harus mengamalkan menurut format sakilah. Sakilah itu menurut kemampuan indiviidual, spiritual masing-masing yang berbeda-beda. Oh, ini yang pas zikirnya Allah saja. Yang ini La Ilaha Illallah. Ini solawatnya begini. Solawatnya kadang berbeda-beda

Berarti kalau  begitu, Nabi Muhammad itu sebagai, katakanlah seorang mursyid itu mengetahui watak para sahabat?

Lha iya. Dan seorang mursyid yang benar harus tahu si murid, calon murid ini bentuknya gelas, apa piring, apa coet. Oh, kalau piring, nasi isinya. Jangan coca cola. Kalau gelas ya, minuman, jangan diisi sambel.

Tapi ada yang harus dibacakan secara umum oleh murid-murid di seluruh thariqah?

Ya, kalau umum itu, kalau makan itu, ibarat nasinya. Nasinya sama, lauknya yang berbeda-beda. Seorang mursyid harus tahu.

Dan itu sudah ada dalam diri mursyid ya? Nggak bisa dipelajari?

Makanya di Al-Quran, surat Kahfi itu, disebutkan waman yudlil falan tazida lahu, waliyyam mursyida. Siapa yang hidupnya dholalah, tersesat, maka dalam hidupnya tidak akan menemukan waliyyan mursyida. Seorang wali yang mursyid. Syarat seorang mursyid harus wali. Banyak wali, tapi belum tentu mursyid. Banyak mursyid, belum tentu wali.

Bagaimana penjelasannya?

Kan banyak mursyid-mursyid itu. Belum tentu dia itu, memiliki kapasitas waliyyan mursyida.

Kalau begitu, tipikal mursyid itu bagaimana?

Mungkin dia masih punya mursyid lagi. Dia hanya diberi lisensi untuk ngajarin thariqah. Tapi posisinya ini bukan mursyid, sebenarnya. Tapi ada yang mengaku mursyid, begitu.

Kayak khalifah, begitu, ya?

Iya. Khalifah ya khalifah.

Kalau nggak salah, saya pernah mendengar tipikal mursyid yang kamil mukamil?

Kamil mukamil itu sama dengan waliyyam mursyida.

Ada kamil. Ada mukammil?

Kamil mukamil adalah mursyid yang sudah paripurna. Suduh wushul dia sendiri kepada Allah dan diberi opsional, yang memang dari Allah juga untuk membimbing seseorang supaya sampai juga kepada Allah, jiwanya. Sempurna dan juga bisa menyempurnakan orang lain mukammil lighairih.

Pak, kalau melihat sejarah, tasawuf dan kalangan tarekat pernah dituding sebagai penyebab kemunduran umat Islam? Bagaiamana ini, pak?

Itu akibat tekanan sosial, politik, ekonomi, macam-macam, lalu dia lari ke tarekat, dalam kondisi ekslusif. Ada lagi yang dia memang, dia memerankan betul bahwa thariqah itu sebenarnya Islam yang utuh. Jadi, begini, saya sering menggambarkan proses spiritualnya Nabi, di dalam Isra’ Mi’raj. Nabi, ketika mi’raj itu meninggalkan semuanya. Segala hal selain Allah ditinggalkan. Ketika begitu, kelihatannya ekslusif, nih. Begitu ketemu Allah, rupanya belum puncak. Oleh Allah, kamu sekarang dapat tugas, balik ke dunia. Orang sufi yang benar, dia kembali ke dunia. Iya, menjadi biasa lagi. Tidak tampilnya eksklusif. Ini belum selesai nih tasawufnya. Apalagi yang mazdub, wah… belum selesai. Proses.

Justru ketika Nabi ketemu Tuhan itu bukan puncak, ya?

Bukan. Puncaknya ya ketika kembali ke dunia. Tapi ke dunia bersama Allah sehingga rahmatan lil alamin.

Anggapan penyebab kemunduran umat Islam itu bagaimana?

Itu yang diamati sufi-sufi yang belum selesai tadi.

Kalau misalnya seseorang, saya misalnya, dengan cara yang entah, kemudian, tiba-tiba bisa ketemu seorang mursyid itu karena apa?

Ya macam-macam. Orang bertemu seorang mursyid itu karena macam-macam. Faktor itu nggak bisa kita duga. Bisa karena kita mencari, baru ketemu. Ada orang yang ngak sengaj, ketemu. Ada orang yang, begini, ibarat berjalan. Ada orang tiba-tiba ketemu di jalan. Ada yang bisa tiba-tiba-tabrakan di jalan. Lho, siapa ini? Mursyid ternyata.

Itu udah petunjuk Tuhan?

Ya.  Cara Allah saja. Tapi kalau orang yang sedang mencari mursyid, itu biasanya ditaqdirkan berthariqah. Tanda-tandanya begini. Kalau belum ketemu, itu soal lain. Suatu ketika akan berthariqah.

Bapak sendiri pengamal thariqah juga?

Ya ada. Sadziliyah, Qodiriyah, Naqsyabandiyah. Tiga.

Bisa mengikuti tiga thariqah berbarengan?

Asal mursyidnya satu. Ibarat kapal, ini ada kapal, sekoci-sekoci, tapi nakhodanya satu. Kalau oh ini ada kapal, kapal, nakhodanya sendiri-sendiri, nggak bisa. Naik sebelah mana? Atau satu nih, nakhodanya banyak. Bingung. Nggak bisa. Silakan kita belajar kepada ulama, kiai, macam-macam ilmu pengetahuan. Tapi soal toriqoh, mursyidnya harus satu.

Kenapa?

Kalau belajar itu kan ibarat membuat menu yang bagus. Ibarat mobil, bengkel sana yang bagus, bengkel sini yang bagus. Tapi tujuan mobil ini kemana, ini harus ada satu tujuan.

Bukannya tujuan setiap thariqah itu sama?  Menghadap Gusti Allah?

Semua sama. Ini berkaitan dengan mursyid itu harus satu. Hati kita itu menolak untuk terbelah, sebenarnya.

Mursyidnya siapa, Pak?

Syekh Solahudin Abdul Jalil Mustaqin dari Tulung Agung.

Ada tokoh sufi atau buku yang paling dikagumi?

Saya sangat mengagumi kitab al-Hikam.

Ibnu ‘Athoillah?

Ya.

Kenapa?

Karena Ibnu ‘Athoillah itu menyederhanakan wacana tasawuf yang universal sekali, disederhanakan beliau. Dari satu hikmah ke hikmah lain itu adalah urutan perjalanan psikografic para penempuh jalan Allah. Mengalami semua. Semua pengamal thariqah mana pun, mengalami seperti yang di al-Hikam itu. Ada lagi satu kitab, yang saya terjemah juga ke Indonesia, yaitu Risalatu Qusyairiyyah. Kitabnya al-Qusyairi itu kitab utama dalam dunia sufi. Ada lagi kitabnya Abu Thalib Al-Makki. Saya juga kagum sama tafsirnya Syekh Abdul Qodir Al-Jilani, yang enam jilid, yang baru ditemukan oleh cucunya itu. Kitab tafsir yang terbaik di dunia, sekarang ini, karena memadukan syariat dan tasawuf.

Apa nama tafsirnya, Pak?

Tafsir al-Jilani.

Kok bisa baru ditemukan, Pak?

Ditemukan oleh cucunya selama 30 tahun riset beliau dari berbagai perpustakaan di dunia, dan terbagus, terlengkap di Vatican.

Berceceran begitu, ya?

Iya.

Di Sunda, Manaqib Syekh Abdul Qodir Jilani dinamakan Layang Syekh. Itu sudah menyunda sekali. Orang sudah nggak paham, bahwa dulunya ini kegiatan orang thariqah. Itu bagaimana?

Itu nggak apa-apa. Ibaratnya begini, kalau toriqoh itu sebuah pohon, Qodiriyah, pohon ini, berbuah. Dia hanya memetik salah satu buahnya saja. Tapi tidak bisa diklaim ini adalah sebuah pohon, daun, bunga, dan buah. Salah satu buah saja.

Kalau yang semuanya, ya masuk thariqah itu?

Iya. Kita berharap sebanrnya, pelajaran tasawuf harus mulai masuk kurikulumnya mulai TK  sampai perguruan tinggi Islam.

Pendidikan Akhlak, Akidah Akhlak yang ada sekarang itu nggak cukup?

Nggak cukup. Jadi, karena begini, kalau kita lihat buku agama, itu isinya, iman, islam dan taqwa. Ihsannya itu hilang kemana. Hanya saja bagaimana dirumuskan, tasawuf untuk anak TK itu bagaimana. Sebenarnya yang mengajari akhlak juga sebanrnya buah dari tasawuf juga. Tapi harus lebih diperdalam. Misalnya zikir apa yang bisa membimbing anak-anak itu terus-menerus dengan Allah. Kalau saya begini, ngajarin tasawuf itu dari bayi. Contohnya, biasanya ibu-ibu, kalau punya anak, selalu mengajari anak-anak dengan ucapan bayi pertama kali; papa, mama, ibu, bapak, kalau saya nggak. Kalimat yang diajarkan pertama adalah Allah. Entah kedengarannyaawoh, awoh, awoh. Allah.

Di pelajaran, ada iman, ada Islam, dan ihsannya nggak ada. Apakah itu dimungkinkan karena tasawuf itu tidak terukur? Atau memang bagaimana?

Karena memang belum tersistematisir. Seperti ketika dalam munculnya ilmu tasawuf itu muncul baru di abad ketiga hijriyah. Kenapa tidak muncul di zaman sahabat? Karena, kata NABI, sebaik-baik abadku, khoiru quruni, qorni, tsuma qorni, tsuma qorni, tiga abad. Tiga abad ini, umat Islam masih utuh. Setelah itu, nggak karuan akhlaknya. Inilah, para sufi bergerak untuk mensistematisir, menulis buku tasawuf, ini, dan seterusnya. Dulu kenapa nggak ditulis, nggak kayak fiqih? Lha, orang kepribadiannya masih bagus semua, masih utuh.


dikutip dari: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,5-id,38418-lang,id-c,halaqoh-t,Tasawuf+Tanpa+Thariqah+sama+dengan+Nol-.phpx

Sunday 17 December 2017

Tasawuf Melahirkan Karya dan Manusia Hebat

Hady Ismanto:
Pernah dengar roket al-Qassam milik pejuang hamas?
Nama itu diambil dari pejuang Palestina Syaikh Izzuddin al-Qassam, mursyid Thariqah Syadziliyah.

Pernah baca atau nonton Lion of The Desert? Itu kisah asy-Syahid Syaikh Umar al-Mukhtar di Libya. Pejuang rakyat Libya ini ditakuti penjajah eropa sehingga beliau ditangkap dan menemui kesyahidan di tiang gantungan. Beliau syaikh dalam barisan Thariqah Sanusiyyah.

Pernah membaca bagaimana kehebatan Sulthan Muhammad al-Fatih bersama pasukannya menaklukkan konstantinopel? Sulthan Muhammad II adalah pengikut Thareqah Naqsyabandiyah, dibawah bimbingan Syaikh Aq Syamsuddin al-Naqsyabandi, seorang mursyid thariqah. Rasulullah telah mengabarkan bahwa pemimpin dan pasukan terbaik adalah mereka. Anggota pasukan Sulthan berasal dari kesatuan tarekat2 yang berkembang waktu itu.

Kagum dengan keberanian Shalahuddin al-Ayyubi pahlawan perang salib? Beliau adalah orang yang bertasawuf. Sebelumnya ada Sulthan Nuruddin Mahmud Zankiy yang juga pengikut dan pencinta Tasawuf.

Pernah dengar keberanian pasukan muslim pegunungan Kaukasus melawan gempuran tentara Tsar Rusia? Imam Syamil al-Daghestani adalah pemimpin utama muslim dalam perlawanan tersebut. Beliau yang merupakan mursyid Thariqah Naqsyabandiyah bersama murid2 tarekatnya super merepotkan tentara rusia dalam menduduki wilayah kaukasus.

Perang jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro adalah perang paling melelahkan bagi penjajah Belanda di nusantara. Pangeran Diponegoro atau Pangeran Goa Selarong yang bersorban itu adalah mursyid Thariqah Qodiriyah.

Syaikh Yusuf al-Makassari diasingkan oleh belanda ke Srilanka karena kegigihannya melawan penjajah. Terakhir dibuang ke Afrika Selatan pun masih berjuang melawan penjajahan. Indonesia dan Afrika Selatan menganugerahkan gelar pahlawan kepada beliau. Jangan lupa bahwa beliau ulama Tarekat.

Di Somalia ada Syaikh Muhammad Abdullah Hasan, atau penjajah eropa menyebutnya "Mad Mullah". Pasang surut perjuangannya tidak akan dilupakan rakyat Somalia. Beliau adalah penganut Thariqah Shalahiyyah.

Di al-Jazair ada Syaikh Abdul Qadir al-Jazairiy, ulama Thariqah Qodiriyah dan pemimpin perjuangan rakyat al-Jazair melawan penjajah.

Dibanyak tempat dan daerah pada masa penjajahan, para penjajah selalu berhadapan dengan Syaikh, Mursyid, Guru dan ulama tarekat beserta murid-muridnya.

Pahamkah Anda kenapa begitu massifnya propaganda bahwa tasawuf itu sesat?  Bahwa orang tarekat kerjanya hanya dzikir dan ibadah saja? Bahwa ngaji tarekat itu hanya orang-orang tertentu saja yang sudah tua? Karena musuh Islam takut melawan orang tarekat. Pengalaman sudah mengajarkan mereka bahwa garda terdepan perlawanan ummat Islam terhadap penjajahan adalah lebih banyak dilakoni oleh kaum tarekat. Jadi salah satu inti kekuatan Islam harus dipadamkan dulu. Tidak bisa dari luar maka dari dalam digerogoti dengan tuduhan miring terhadap tasawuf dan thariqah.

Laku tasawuf memang tak jauh dari berdzikir,  berurai air mata di malam hari, menuntaskan wirid dan hizb yang diijazahkan guru. Tak perlu dibicarakan dan diberitakan berapa ribu kalimah Laa ilaha illallah, istighfar, ya Rahman, ya Rahim, ya Qawwiy, ya 'Aziiz yang diamanahkan oleh mursyid untuk dibaca di malam2 hari.

Ingat!! Mereka para kaum tarekat itu sedang mengasah senjata di malam hari! Kalau saja ada musuh datang menghadang entah dari mana datangnya nanti, murid-murid insya Allah sudah mafhum cara menebaskan pedangnya.

Ya Allah, jadikanlah kecintaan kepada guru-guru kami,  mursyid-mursyid kami, kecintaan terhadap ilmu tasawuf dan tarekat,  menjadi penanda cinta kami padaMu dan pada rasulMu. Ammiin.. Alfaatihah..

Sunday 19 November 2017

Potret Sufi Modern Masa Kini

Masyarakat kita sering beranggapan bahwa ajaran tasawuf itu bersikap eksklusif. Artinya, bahwa ajaran tasawuf itu hanya dapat dipraktikkan dan diamalkan oleh orang-orang yang (sufi) mereka anggap sebagai “bukan manusia biasa”, karena mereka itu telah menjadiwaliyullah.
Karena itu, sebagian masyarakat kita memiliki persepsi bahwa seorang sufi adalah orang yang hanya menghabiskan waktunya di masjid untuk beri’tikaf, berdzikir, dan melakukan shalat-shalat sunnah. Atau mereka yang menyendiri (menyepi) di gua, gunung, hutan dan di pinggir-pinggir pantai, untuk melakukan kontemplasi. Atau juga mereka yang berpakaian lusuh, mereka yang menghabiskan siang dan malam hari hanya untuk ibadah, mereka yang berpernampilan awut-awutan dan mereka mempunyai pola hidup ‘anti dunia’.
Tidaklah demikian halnya, seorang manusia pilihan Alloh pada abad sekarang yang hidup pada masa kini, yang berada di tengah-tengah kita, Syekh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Al-Qodiri ra. yang lebih akrab dikenal dengan sebutan Abah Aos yang tinggal di kaki gunung Sawal daerah Panjalu Ciamis Jawa Barat ini adalah orang yang menggambarkan potret seorang sufi yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi zaman. Beliau berpenampilan gagah dan rapi yang menunjukkan bahwa Islam itu identik dengan keindahan. Akhlaq-nya begitu mulia dengan mengikuti akhlaq gurunya Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin ra. yang berjiwa sosial, suka menolong, membangun peradaban masyarakat yang lebih baik yang selalu menghormati dan menjunjung tinggi aturan AGAMA dan NEGARA.
Meski berada dalam kondisi berlimpah harta, namun itu tidaklah membuatnya lupa diri. Ibadah kepada Alloh SWT selalu tetap menjadi prioritasnya setiap waktu. Sholat tepat waktu, puasa hakikat, shodaqoh jariyah, dan ibadah lainnya selalu menjadi hal penting dalam hidupnya. Beliau selalu berkarya untuk dunia pendidikan dengan menyusun beberapa buku sebagai pedoman hidup beragama bagi ummat.
Banyak hal yang beliau kerjakan, baik yang bersifat ke-Tuhan-an dan kemanusiaan. Beliau adalah orang sholeh secara vertikal dan horizontal, baik kepada Alloh dan baik kepada sesama dan lingkungan serta makhluk lainnya. Beliau adalah jembatan ilmu dan amal bagi para murid yang selalu merindukannya. Beliau adalah pelopor pembuka jalan untuk melaksanakan ibadah dan kajian ilmu melalui MANAQIB di mesjid-mesjid terkemuka.
Beliau memiliki 12 Sifat kemuliaan : 1. Dua ( 2) Sifat Allah Swt, yakni a. menyembunyikan kesalahan makhluk ciptaan yang lain b. memiliki perasaan terharu ( kasihan ) dan kemauan memaafkan dosa yang terburuk sekalipun 2. Dua ( 2 ) Sifat nabi Muhammad Saw a. Cinta Kepada Allah, kepada sesama, kepada alam dan kepada dirinya sendiri b. lemah lembut dalam bertutur kata dan laku perbuatan 3. Dua ( 2 ) Sifat Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra a. Benar, Jujur dan Ikhlas b. taat dan Murah Hati 4. Dua ( 2 ) Sifat Sayyidina Umar Bin Khatthob ra a. Adil dan menekankan kebenaran b. mencegah kesalahan ( kemungkaran ) 5. Dua ( 2 ) sifat Utsman Bin Affan ra a. Rendah hati ( tawadhu ) b. bangun Malam dan berdo’a ketika orang lain lelap tidur 6. Dua ( 2 ) Sifat sayyidina Ali bin Abi Thalib kw a. ber Pengetahuan ( Pintar dan cerdas ) b. keteguhan hati ( Tidak mudah terpengaruh )

Saturday 18 November 2017

Ingat Mati 33 Kali Sehari!

Ingat Mati 33 Kali Sehari!

Dari mana dapat angka 33? Begini penjelasannya…
2 Menjelang dan Setelah Tidur + 4 Saat Berkendara + 27 Saat Shalat. Pas 33!

2 Tablet “Ingat Mati” Menjelang dan Setelah Tidur

Doa menjelang tidur
Menjelang tidur, kita membaca doa:
“Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan mati” Doa ini kalau kita panjatkan dan hayati dengan baik, maka ini merupakan sebuah dzikrul maut, atau ingat mati. Jika menjelang tidur anda baca doa ini, tapi tidak disertai dengan ingat mati, maka efek doa ini kurang bisa memperbaiki hidup anda. Mulailah malam ini “ingat mati” saat membaca doa itu.

Lalu setelah bangun tidur, kita membaca doa:

Doa bangun tidur
“Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku setelah mematikan aku dan kepadaNya kami kembali.” Doa ini juga merupakan dzikrul maut, atau ingat mati. Sudahkah kita sadari makna ritual tidur kita dengan “ingat mati”? Kalau belum, saatnya dimulai…

4 Tablet “Ingat Mati” Saat Berkendara

Doa naik kendaraan
“Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini bagi kami, padahal kami tidak kuasa mengendalikannya, dan kepada Allah kami akan kembali.” Doa harian ini juga lagi-lagi mengandung muatan dzikrul maut, atau ingat mati! Iya, kan?
Berapa kali sehari anda menaiki kendaraan? Sejumlah itulah anda harus MERASA minum “tablet ingat mati”. Kita naik kendaraan rutin saat berangkat kerja, pulang kerja dan untuk keperluan lainnya. Saya ambil rata-rata 4 kali naik kendaraan dalam sehari.

27 Tablet “Ingat Mati” Saat Shalat
Ingat mati waktu shalat, adalah perintah Allah dalam Al Baqarah 45:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. Yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Ada 3 bacaan shalat yang mengantar kita pada dzikrul maut:
1. Ingat mati saat membaca doa iftitah
“Inna shalatii wanusukii wamahyaaya wa mamaati lillahi rabbil alamin” Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya bagi Allah tuhan semesta alam”

2. Ingat mati saat membaca Al Fatihah
“Maaliki yaumiddiin” Yang menguasai hari pembalasan.

3. Ingat mati saat membaca doa sebelum salam
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari fitnah kejahatan Dajjal.”

Dalam shalat Isya ada 6 kali dzikrul maut, dalam shalat Subuh 4 kali, shalat Dhuhur 6 kali, shalat Ashar 6 kali dan dalam shalat Maghrib 5 kali. Totalnya ada 27 kali dzikrul maut (ingat mati) saat kita menjalankan shalat fardhu.

Jadi, DOSIS MINIMAL ingat mati dalam sehari semalam adalah 33 kali! Apakah sudah kita sadari ini?

Friday 10 November 2017

KOPI, MINUMAN PARA SUFI

KOPI, MINUMAN PARA SUFI

Kopi merupakan minuman yang biasanya digunakan masyarakat sebagai teman ngobrol, karena khasiat yang dirasakan pada umumnya sebagai pengusir rasa kantuk. Durasi yang mereka gunakan ngobrol pun bisa sepanjang malam. Inilah khasiat kopi yang sering disalahgunakan. Beda halnya dengan orang-orang ahli tasawuf yang menjadikan kopi sebagai sarana menyemangati mereka di dalam beribadah kepada Allah.
Seorang ulama bernama Syekh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa menggunakan sesuatu yang jaiz sebagai sarana maka hukumnya tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuannya untuk kebaikan maka penggunaan sarana tersebut bernilai pahala, dan jika tujuannya untuk maksiat maka bernilai dosa.
Menurut sejarah biji kopi baru ditemukan pada akhir abad ke-8 H di Yaman oleh penemu kopi Mukha, Imam Abul Hasan Ali bin Umar asy-Syadzili. Kemudian minuman kaum sufi tersebut disebarkan di berbagai tempat oleh Habib Abu Bakar Alydrus.
Banyak dari ulama yang menyukai minuman ini. Sebagian mereka bahkan memujinya dengan bait-bait syair. Syekh Hamzah bin Abdullah an-Nasyiri al-Yamani menggubah sekitar 80 bait syair mengenai manfaat kopi. Sebagian syair tentang kopi ini dinukil di beberapa perkataan ulama tentang manfaat minuman orang-orang ahli makrifat ini:
Wahai orang-orang yang asyik dalam cinta kepada-Nya, kopi membantuku mengusir kantuk
Dengan pertolongan Allah, kopi menggiatkanku taat beribadah kepada-Nya di kala orang-orang terlelap tidur
Qahwah (kopi), Qâf adalah Qût (makanan), Hâ adalah Hudâ (petunjuk), Wawu adalah Wud (cinta), dan Hâ adalah Hiyâm (pengusir kantuk
Janganlah kau mencelaku karena aku meminumnya, sebab kopi adalah minuman orang-orang mulia
Sebagian orang-orang shaleh mendapatkan kabar gembira dari Rasulullah tentang kemuliaan meminum kopi. Hal ini pernah terjadi kepada waliyullah al-Habib Hasan bin Shaleh al-Bahar. Beliau pernah bermimpi, dan meminta kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, berilah aku hadis tanpa ada perantara sanad!”
Rasulullah menjawab 3 hal, di antaranya, “Selama rasa kopi tersebut masih ada di mulutmu, para malaikat senantiasa beristighfar dan memintakan ampun untukmu.”
Disadur dari “Sosok Kebanggaan Umat, Syekh Abu Bakar bin Salim”
(Dimuat di Buletin IstinbaT PP. Sidogiri, edisi 244)

Monday 6 November 2017

TASAWUF; Bagian dari Paradigma Keilmuan

TASAWUF; Bagian dari Paradigma Keilmuan

WEDNESDAY, DECEMBER 9, 2015LABELS: 

A.    Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, terdapat sejumlah kata/istilah yang sering dihubungkan dengan tasawuf, diantaranya ialah :
a.    Shaf, artinya barisan dalam berjamaah. Istilah ini dilekatkan karena para pelaku tasawuf (sufi) senantiasa memilih barisan terdepan dalam shalat berjamaah. Disamping itu, mereka juga beranggapan bahwa seorang sufi akan senantiasa berada dibarisan terdepan/pertama dihadapan Allah SWT.[1]

 
b.    Saufanah, yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Peletakan nama ini disebabkan karena para sufi banyak menggunakan pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik namun kesuburan hatinya dijaga.[2]
c.    Shafa’, artinya suci bersih. Maksudnya bahwa para sufi senantiasa menyucikan niatnya dalam setiap tindakan dan ibadahnya (pengabdian kepada Allah).[3]
d.   Suf, artinya wol atau kain berbulu kasar. Disebut demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutra yang biasa dipakai oleh orang-orang kebanyakan.[4] Pakaian ini melambangkan kesederhanaan, kemiskinan dan kejauhan dari dunia. Ibn Khaldum, al-Yafi’i, Hasan al-Bashri, Suhrawardi dan lainnya mendukung arti terakhir ini.[5]
e.    Berasal dari bahasa Yunani yaitu Theosophi (Theo : Tuhan; Sophos : Hikmat) yang berarti hikmat ketuhanan. Kata ini dirujuk karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.[6]
f.     Shufa, sebutan bagi zahid (hidup sederhana) yang mengabdi sebagai pelayan mesjid. Nama aslinya adalah Ghauts bin Mur yang karena kemasyhurannya, setiap orang yang zuhud dijuluki sufi. Pendapat ini dilontarkan oleh Dr.Qasim Ghani.[7]
g.    Shufi juga dikaitkan dengan Shafwan, yaitu para khadim (pelayan) Ka’bah  dan pemandu haji pada masa jahiliah, yang dikenal sebagai orang-orang zuhud. Ar-Raghib mengutip pendapat ini.[8]
Dari sekian banyaknya pengertian secara etimologis, jelas akan berujung pada ambiguitas paradigma karena rumitnya menarik kesepahaman terkait dengan pengertian yang mana hendak digunakan atau dikukuhkan. Konsekuensi logis dari keragaman tersebut ialah lahirnya pengertian tasawuf secara terminologis yang beragam, dan berikut pengertian yang penulis sempat nukil dan dapatkan:

a.       Ibrahim Hilal merumuskan bahwa defenisi Tasawuf sebagai berikut :
1.      Memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya.
2.      Tasawuf adalah bermacam ibadah, wirid, lapar, berjaga diwaktu malam dengan memperbanyak shalat dan zikir, sehingga lemahnya unsur jasmani dari diri seseorang dan semakin kuatlah unsur rohaniahnya.
3.      Tasawuf ialah menundukkan jasmani dan rohani dengan jalan yang disebutkan di atas sebagai usaha mencapai hakekat kesempurnaan rohani dan mengenal Zat Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya.
b.      Menurut Zakaria al-Anzhari, tasawuf adalah cara mensucikan jiwa, tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.[9]
c.       Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, tasawuf adalah menjabarkan ajaran Alquran dan sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan.[10]
d.      Menurut Ahmad Amin, Tasawuf adalah bertekun dalam beribadah berhubungan langsung dengan Allah Swt, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak dan menghindarkan diri dari makhluk dalam berkhalawat untuk beribadah.[11]

B.     Kerangka Epistemologis Tasawuf
Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu, telah digandrungi oleh beberapa kalangan dari dahulu hingga sekarang, khususnya bagi yang memiliki harapan untuk melakukan perjalanan spiritual, sebab memang telah diyakini bahwa pintu tersebut merupakan pintu yang paling efektif dalam menjalin kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.
Sebagai disiplin ilmu, tentu saja tasawuf memiliki kerangka epistemologis yang berbeda dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain sehingga ia beresensi dan berkarakter. Dan pada pembahasan ini penulis coba mengelaborasi beberapa paradigma, meski demikian perlu kiranya penulis paparkan cara kaum Muslimin memahami realitas sebagaimana yang diungkapkan oleh Muliadi Karta Negara bahwa, terdapat tiga macam metode manusia dalam memahami sesuatu sesuai dengan tingkatan atau hirarki wujud, yaitu : 
  1. Metode observasi atau disebut bayani. 
  2.  Metode logis atau demonstratif, dalam Islam dikenal dengan istilah burhani. 
  3. Metode intuitif atau irfani,[12] yang masing-masing bersumber pada indera, akal dan hati.
Pada pembahasan ini penulis hanya fokus membahas poin yang ketiga sebagai tema sentral makalah ini. Sebagai stressing bahwa, selain akal manusia memiliki alat lain yang dapat digunakan untuk menangkap realitas non fisik, alat ini adalah bagian dari karunia terbesar Tuhan, yaitu “hati” (qalb), atau intuisi. Meski akal dan hati sama-sama mampu menangkap objek-objek nonfisik, namun keduanya menggunakan pendekatan yang berbeda. Suhrawardi sebagaimana yang dikutif oleh Muliadi menyebut pendekatan akal dengan bahtsi (diskursus), sedangkan hati dengan dzauqi (presensial).[13]
Pendekatan intuitif (dzauqi) disebut pendekatan presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seseorang, dan karena itu modus ilmu seperti ini disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) oleh karena objek-objek yang ditelitinya hadir dalam jiwa, manusia bisa mengalami dan merasakannya, dan dari sinilah isitilah dzauqi (rasa) timbul.
Ilmu dengan kehadiran ini merupakan elemen yang sangat mendasar (fundamental) didalam epistemologi Mulla Sadra. Nampak misalnya dari pendapatnya bahwa persepsi terhadap realitas wujud tidak mungkin dapat dicapai kecuali melalui kehadiran dan penyaksian langsung. Dan didalam medefenisikan ilmu huduri Sadra mengatakan bahwa kadang-kadang pengetahuan dikenali melalui wujud objek yang diketahui. Contoh yang mampu diterima oleh semua para filosof yakni persepsi jiwa terhadap dirinya sendiri, dimana tidak ada satupun perantara diantara keduanya (yaitu pengetahuan jiwa dan jiwa itu sendiri).[14]
Maka dari itu, jelaslah bahwa metode tasawuf, tidak didasarkan pada pengamatan indrawi atau intelektual (akal) tetapi lebih pada pengamatan intuisi (hati). Adapun ciri khas pengetahuan intuitif adalah kelangsungannya, dalam arti pengenalan langsung (tanpa melalui perantara) terhadap objeknya. Ini terjadi karena adanya identitas yang antara subjek dan objek atau antara subjek yang mengetahui dan objek yang di ketahui tidak lain dari diri sendiri sehingga yang dihasilkan sebenarnya adalah self knowledge (pengetahuan tentang diri sendiri oleh diri sendiri).[15]
Pengetahuan yang didasarkan pada penyingkapan secara langsung ini sering disebut sebagai mukasyafah (penyingkapnya) langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia dari realitas-realitas yang ada.[16] Oleh karena itu pengetahuan tasawuf tidak diperoleh melalui analisis teks, akan tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung, masuk dalam pikiran, kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan tasawuf setidaknya dapat diperoleh melalui tiga tahap, yaitu :[17]
Tahap pertama, persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan kasyaf, seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, (1) Taubat, mengakui segala bentuk perbuatan buruk dan berjanji tidak melakukannya lagi, (2) Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang sifatnya subhat (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan urusan-urusan duniawi, (4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak mengharapkan sesuatu apapun kecuali Allah swt., (5) Sabar, (6) Tawakkal dan, (7) Ridha.[18]
Kedua, tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkatan tertentu dalam sufisme, maka seseorang akan mendapatkan limpahan pengetehuan langsung dari Allah swt., secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang mutlak, sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda akan merupakan satu eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitupula sebaliknya. yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut sebagai ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek.[19]
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman-pengalaman mistik yang dialami oleh sufi kemudian diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan tulisan secara logis. Namun, karena pengetahuan irfani bukan termasuk dalam tatanan konsepsi dan representasi, tetapi terkait dengan kesatuan kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomukasikan, maka tidak semua pengalaman spiritual seorang sufi bisa diungkapkan.[20]
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa tasawuf memang betul-betul memiliki kerangka epistemologis yang berbeda dengan yang lain, sehingga itu pula yang menjadi esensialitas bagi dirinya sehingga ia mendapat kelayakan ilmiah untuk disifati sebagai kerangka teoritik selain indera dan rasio.
C.    Tasawuf Sebagai Sebuah Paradigma
Berangkat dari pembahasan sebelumnya, terkait dengan landasan epistemologi tasawuf yang secara teoritik telah dikemukakan, maka pada poin ini penulis hendak mempertegas kelayakan tasawuf sebagai sebuah paradigma intelektual.
Adalah hal yang tidak dapat disangkal bahwa beberapa perangkap epistemologis yang telah disebutkan sebelum epistemologi tasawuf (indera dan rasio/akal), disinyalir dan atau bahkan diyakini tidak mampu menjawab secara totalitas berbagai keresahan dan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang terkait dengan rahasia kosmologi dan ke-Tuhan-an, Jalaluddin Rumi mempertegas hal ini dalam kritikannya, sebagaimana yang dikutif oleh Muliadi Kartanegara bahwa upaya para pilosof dalam menemukan realitas, boleh dikata sia-sia karena meskipun realitas tersebut tidak jauh, bahkan lebih dekat dari nadi lehernya sendiri, namun para filosof justru meninggalkan dan mengabaikannya. Bahkan dengan nada sinis ia  mengatakan bahwa para filosof boleh berbangga dengan beribu ilmu pengetahuan, tetapi dengan dirinya sendiri, mereka tidak tahu apa-apa. Demikian juga terhadap kaum empiris atau materialis yang hanya percaya pada persepsi indra, Rumi melontarkan beberapa komentar bahwa, bagi mereka yang tidak dapat melihat unta di atas menara, bagaimana kita harapkan mereka dapat melihat jarum di mulut unta itu. Mereka hanya percaya pada yang lahiriah, padahal mungkinkah disana ada yang lahiriah tanpa yang batiniah?.[21]
Fakta ini jelas menghendaki adanya pengusungan bentuk paradigma baru yang pada prinsipnya dapat mengakomodir serta menyelesaikan setiap bentuk kesangsian-kesangsian manusia dalam hidupnya. Dan dalam kondisi yang seperti ini, tasawuf/sufisme yang dianggap punya tawaran epistemologi tersendiri, diyakini sebagai modus alternatif kerangka pengetahuan baru.
Kehadiran tasawuf sebagai kerangka pengetahuan baru, disinyalir dan bahkan dikuhkukan oleh beberapa tokoh pemikir sebagai solusi bagi berbagai macam paradox yang dihasilakan oleh penjelajahan indra dan akal. Sebut saja misalnya Al-Gazali yang tidak satu pun pemikir muslim dapat menyangsikan kehebatan intelektualnya, justru menjadikan tasawuf (sufisme) ini sebagai pelabuhan terkahir dalam pergolakan wacana dan keilmuannya.
Demikian halnya dengan Imam Khomeni yang nampak jelas dalam wasiat yang disampaikan kepada anaknya bahwa kaum filosofis membuktikan Kemaha hadiran Allah dengan argumen-argumen rasional. Akan tetap, selama apa saja yang telah dibuktikan oleh akal dan argumen tak mencapai hati maka akal itu tidak memiliki kepecayaan kepada-Nya. Lanjut Khomeni mempertegas bahwa, kenyataannya bahwa orang yang memenuhi hatinya dengan kehadiran Allah dan memiliki kepercayaan kepada-Nya, meskipun mungkin mereka tidak akrab dengan argumen-argumen filosofis, akan membuat mereka menerapkan adab Kehadiran Allah. Oleh karena itu upaya-upaya akademis, termasuk filsafat dan ilmu kalam, adalah hijab-hijab dalam dirinya sendiri.[22]
Kenyataan ini dipertegas pula oleh pemikir tersohor Mulla Shadra bahwa di dalam Islam, iman bukan hanya sebagai jalan keselamatan saja, tetapi juga membawa  pengetahuan hati(heartfelt knowledge) melalui penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (syuhud) yang dialami oleh orang-orang beriman.[23]
Dari pemaparan tersebut di atas dimengerti bahwa tasawuf memang memiliki posisi strategis dan bahkan fital sebagai paradigma dalam kehidupan umat manusia untuk menggapai setiap impian-impiannya, dan lebih khusus terhadap harapannya akan kesempurnaan diri (insan kamil). Selain dari pada itu tasawuf dengan gayanya yang khas dan unik karena titik penekanannya ialah perolehan pengetahuan yang bersifat huduri (langsung) mengantar konsep-konsep yang dihasilkannya amat rumit mendapatkan bantahan-bantahan yang sifatnya demonstratif.


[1] Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 73.
[2] Ibid..,
[3] Abu al-Ala’ Afifi, Fii Tasawuf al-Islam wa Tarikhukhu, (Kairo : Matba’ah lajnah at-Ta’lif wa al-Nasyr, 1388 H), h. 60.
[4] Ibid..
[5] Ibnu Khaldum, Muqaddimah, (Qum : Dar Majma’ al-Bahrain), h. 648.
[6] Ibid..
[7] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan dan Kebatinan, (Cet. I; Jakarta : Ikapi, 2004), h. 26.
[8] Ibid., h. 27. Shufi juga dikenal dalam istilah jamid (yang tidak memiliki asal kata atau derivate) dalam bahasa Arab. Ia hanyalah gelar yang disandangkan kepada seseorang yang berperilaku zuhud. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Qusyairi dan didukung oleh as-Sarraj. Ibid.,
[9] Musthofa, Akhlak Tasawuf, (Cet. II, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), h. 207.
[10] Ensiklopedi Islam, Op.cit., h. 24.
[11] Ibid., h. 75.
[12] Muliadi Karta Negara, Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam. (Cet. II ; Bandung : Mizan, 2005), h. 61.
[13] Ibid., h. 65.
[14] Institut of Islamic Studies, Transcendent Philoshofy Jurnal. terj. Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan, Persepsi dalam Pemikiran Mulla Sadra. (Cet. I; Makassar : Safina, 2003), h. 165.
[15] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontruksi Holistik, (Cet. I; Bandung: Arasy, 2005), h. 142.
[16] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op. cit., h. 53.
[17] A. Khudori Soleh, Model-model Epistemologi Islam, yang dimuat dalam Jurnal Psikoislamika, Fakultas Psikologi UIN Malang, ed. Vol. 2/No. 2, Juli 2005. h. 4-5.
[18] Ibid., bandingkan dengan S.M.H Thabathaba’i, dalam bukunya Murtahda Muthahhari, menapak jalan spiritual, (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), h. 120.
[19] Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, Knoledge by Presencediterjemahkan oleh Ahsin Mohammad dengan judul Ilmu Huduri: Prinsip-prinsip Epistemollogi dalam Filsafat Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996), h. 51.
[20] Ibid., h. 244.
[21] Muliadi Kartanegara, op.cit., h. 21-22.
[22] Yamani, Wasiat Sufi Ayatullah Khomeni, (Cet. IV : Bandung : Mizan, 2002), h. 94.
[23] Institut of Islamic Studies , op.cit., h. 161.