Monday 6 November 2017

TASAWUF; Bagian dari Paradigma Keilmuan

TASAWUF; Bagian dari Paradigma Keilmuan

WEDNESDAY, DECEMBER 9, 2015LABELS: 

A.    Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, terdapat sejumlah kata/istilah yang sering dihubungkan dengan tasawuf, diantaranya ialah :
a.    Shaf, artinya barisan dalam berjamaah. Istilah ini dilekatkan karena para pelaku tasawuf (sufi) senantiasa memilih barisan terdepan dalam shalat berjamaah. Disamping itu, mereka juga beranggapan bahwa seorang sufi akan senantiasa berada dibarisan terdepan/pertama dihadapan Allah SWT.[1]

 
b.    Saufanah, yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Peletakan nama ini disebabkan karena para sufi banyak menggunakan pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik namun kesuburan hatinya dijaga.[2]
c.    Shafa’, artinya suci bersih. Maksudnya bahwa para sufi senantiasa menyucikan niatnya dalam setiap tindakan dan ibadahnya (pengabdian kepada Allah).[3]
d.   Suf, artinya wol atau kain berbulu kasar. Disebut demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutra yang biasa dipakai oleh orang-orang kebanyakan.[4] Pakaian ini melambangkan kesederhanaan, kemiskinan dan kejauhan dari dunia. Ibn Khaldum, al-Yafi’i, Hasan al-Bashri, Suhrawardi dan lainnya mendukung arti terakhir ini.[5]
e.    Berasal dari bahasa Yunani yaitu Theosophi (Theo : Tuhan; Sophos : Hikmat) yang berarti hikmat ketuhanan. Kata ini dirujuk karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.[6]
f.     Shufa, sebutan bagi zahid (hidup sederhana) yang mengabdi sebagai pelayan mesjid. Nama aslinya adalah Ghauts bin Mur yang karena kemasyhurannya, setiap orang yang zuhud dijuluki sufi. Pendapat ini dilontarkan oleh Dr.Qasim Ghani.[7]
g.    Shufi juga dikaitkan dengan Shafwan, yaitu para khadim (pelayan) Ka’bah  dan pemandu haji pada masa jahiliah, yang dikenal sebagai orang-orang zuhud. Ar-Raghib mengutip pendapat ini.[8]
Dari sekian banyaknya pengertian secara etimologis, jelas akan berujung pada ambiguitas paradigma karena rumitnya menarik kesepahaman terkait dengan pengertian yang mana hendak digunakan atau dikukuhkan. Konsekuensi logis dari keragaman tersebut ialah lahirnya pengertian tasawuf secara terminologis yang beragam, dan berikut pengertian yang penulis sempat nukil dan dapatkan:

a.       Ibrahim Hilal merumuskan bahwa defenisi Tasawuf sebagai berikut :
1.      Memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya.
2.      Tasawuf adalah bermacam ibadah, wirid, lapar, berjaga diwaktu malam dengan memperbanyak shalat dan zikir, sehingga lemahnya unsur jasmani dari diri seseorang dan semakin kuatlah unsur rohaniahnya.
3.      Tasawuf ialah menundukkan jasmani dan rohani dengan jalan yang disebutkan di atas sebagai usaha mencapai hakekat kesempurnaan rohani dan mengenal Zat Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya.
b.      Menurut Zakaria al-Anzhari, tasawuf adalah cara mensucikan jiwa, tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.[9]
c.       Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, tasawuf adalah menjabarkan ajaran Alquran dan sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan.[10]
d.      Menurut Ahmad Amin, Tasawuf adalah bertekun dalam beribadah berhubungan langsung dengan Allah Swt, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak dan menghindarkan diri dari makhluk dalam berkhalawat untuk beribadah.[11]

B.     Kerangka Epistemologis Tasawuf
Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu, telah digandrungi oleh beberapa kalangan dari dahulu hingga sekarang, khususnya bagi yang memiliki harapan untuk melakukan perjalanan spiritual, sebab memang telah diyakini bahwa pintu tersebut merupakan pintu yang paling efektif dalam menjalin kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.
Sebagai disiplin ilmu, tentu saja tasawuf memiliki kerangka epistemologis yang berbeda dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain sehingga ia beresensi dan berkarakter. Dan pada pembahasan ini penulis coba mengelaborasi beberapa paradigma, meski demikian perlu kiranya penulis paparkan cara kaum Muslimin memahami realitas sebagaimana yang diungkapkan oleh Muliadi Karta Negara bahwa, terdapat tiga macam metode manusia dalam memahami sesuatu sesuai dengan tingkatan atau hirarki wujud, yaitu : 
  1. Metode observasi atau disebut bayani. 
  2.  Metode logis atau demonstratif, dalam Islam dikenal dengan istilah burhani. 
  3. Metode intuitif atau irfani,[12] yang masing-masing bersumber pada indera, akal dan hati.
Pada pembahasan ini penulis hanya fokus membahas poin yang ketiga sebagai tema sentral makalah ini. Sebagai stressing bahwa, selain akal manusia memiliki alat lain yang dapat digunakan untuk menangkap realitas non fisik, alat ini adalah bagian dari karunia terbesar Tuhan, yaitu “hati” (qalb), atau intuisi. Meski akal dan hati sama-sama mampu menangkap objek-objek nonfisik, namun keduanya menggunakan pendekatan yang berbeda. Suhrawardi sebagaimana yang dikutif oleh Muliadi menyebut pendekatan akal dengan bahtsi (diskursus), sedangkan hati dengan dzauqi (presensial).[13]
Pendekatan intuitif (dzauqi) disebut pendekatan presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seseorang, dan karena itu modus ilmu seperti ini disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) oleh karena objek-objek yang ditelitinya hadir dalam jiwa, manusia bisa mengalami dan merasakannya, dan dari sinilah isitilah dzauqi (rasa) timbul.
Ilmu dengan kehadiran ini merupakan elemen yang sangat mendasar (fundamental) didalam epistemologi Mulla Sadra. Nampak misalnya dari pendapatnya bahwa persepsi terhadap realitas wujud tidak mungkin dapat dicapai kecuali melalui kehadiran dan penyaksian langsung. Dan didalam medefenisikan ilmu huduri Sadra mengatakan bahwa kadang-kadang pengetahuan dikenali melalui wujud objek yang diketahui. Contoh yang mampu diterima oleh semua para filosof yakni persepsi jiwa terhadap dirinya sendiri, dimana tidak ada satupun perantara diantara keduanya (yaitu pengetahuan jiwa dan jiwa itu sendiri).[14]
Maka dari itu, jelaslah bahwa metode tasawuf, tidak didasarkan pada pengamatan indrawi atau intelektual (akal) tetapi lebih pada pengamatan intuisi (hati). Adapun ciri khas pengetahuan intuitif adalah kelangsungannya, dalam arti pengenalan langsung (tanpa melalui perantara) terhadap objeknya. Ini terjadi karena adanya identitas yang antara subjek dan objek atau antara subjek yang mengetahui dan objek yang di ketahui tidak lain dari diri sendiri sehingga yang dihasilkan sebenarnya adalah self knowledge (pengetahuan tentang diri sendiri oleh diri sendiri).[15]
Pengetahuan yang didasarkan pada penyingkapan secara langsung ini sering disebut sebagai mukasyafah (penyingkapnya) langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia dari realitas-realitas yang ada.[16] Oleh karena itu pengetahuan tasawuf tidak diperoleh melalui analisis teks, akan tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung, masuk dalam pikiran, kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan tasawuf setidaknya dapat diperoleh melalui tiga tahap, yaitu :[17]
Tahap pertama, persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan kasyaf, seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, (1) Taubat, mengakui segala bentuk perbuatan buruk dan berjanji tidak melakukannya lagi, (2) Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang sifatnya subhat (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan urusan-urusan duniawi, (4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak mengharapkan sesuatu apapun kecuali Allah swt., (5) Sabar, (6) Tawakkal dan, (7) Ridha.[18]
Kedua, tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkatan tertentu dalam sufisme, maka seseorang akan mendapatkan limpahan pengetehuan langsung dari Allah swt., secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang mutlak, sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda akan merupakan satu eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitupula sebaliknya. yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut sebagai ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek.[19]
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman-pengalaman mistik yang dialami oleh sufi kemudian diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan tulisan secara logis. Namun, karena pengetahuan irfani bukan termasuk dalam tatanan konsepsi dan representasi, tetapi terkait dengan kesatuan kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomukasikan, maka tidak semua pengalaman spiritual seorang sufi bisa diungkapkan.[20]
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa tasawuf memang betul-betul memiliki kerangka epistemologis yang berbeda dengan yang lain, sehingga itu pula yang menjadi esensialitas bagi dirinya sehingga ia mendapat kelayakan ilmiah untuk disifati sebagai kerangka teoritik selain indera dan rasio.
C.    Tasawuf Sebagai Sebuah Paradigma
Berangkat dari pembahasan sebelumnya, terkait dengan landasan epistemologi tasawuf yang secara teoritik telah dikemukakan, maka pada poin ini penulis hendak mempertegas kelayakan tasawuf sebagai sebuah paradigma intelektual.
Adalah hal yang tidak dapat disangkal bahwa beberapa perangkap epistemologis yang telah disebutkan sebelum epistemologi tasawuf (indera dan rasio/akal), disinyalir dan atau bahkan diyakini tidak mampu menjawab secara totalitas berbagai keresahan dan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang terkait dengan rahasia kosmologi dan ke-Tuhan-an, Jalaluddin Rumi mempertegas hal ini dalam kritikannya, sebagaimana yang dikutif oleh Muliadi Kartanegara bahwa upaya para pilosof dalam menemukan realitas, boleh dikata sia-sia karena meskipun realitas tersebut tidak jauh, bahkan lebih dekat dari nadi lehernya sendiri, namun para filosof justru meninggalkan dan mengabaikannya. Bahkan dengan nada sinis ia  mengatakan bahwa para filosof boleh berbangga dengan beribu ilmu pengetahuan, tetapi dengan dirinya sendiri, mereka tidak tahu apa-apa. Demikian juga terhadap kaum empiris atau materialis yang hanya percaya pada persepsi indra, Rumi melontarkan beberapa komentar bahwa, bagi mereka yang tidak dapat melihat unta di atas menara, bagaimana kita harapkan mereka dapat melihat jarum di mulut unta itu. Mereka hanya percaya pada yang lahiriah, padahal mungkinkah disana ada yang lahiriah tanpa yang batiniah?.[21]
Fakta ini jelas menghendaki adanya pengusungan bentuk paradigma baru yang pada prinsipnya dapat mengakomodir serta menyelesaikan setiap bentuk kesangsian-kesangsian manusia dalam hidupnya. Dan dalam kondisi yang seperti ini, tasawuf/sufisme yang dianggap punya tawaran epistemologi tersendiri, diyakini sebagai modus alternatif kerangka pengetahuan baru.
Kehadiran tasawuf sebagai kerangka pengetahuan baru, disinyalir dan bahkan dikuhkukan oleh beberapa tokoh pemikir sebagai solusi bagi berbagai macam paradox yang dihasilakan oleh penjelajahan indra dan akal. Sebut saja misalnya Al-Gazali yang tidak satu pun pemikir muslim dapat menyangsikan kehebatan intelektualnya, justru menjadikan tasawuf (sufisme) ini sebagai pelabuhan terkahir dalam pergolakan wacana dan keilmuannya.
Demikian halnya dengan Imam Khomeni yang nampak jelas dalam wasiat yang disampaikan kepada anaknya bahwa kaum filosofis membuktikan Kemaha hadiran Allah dengan argumen-argumen rasional. Akan tetap, selama apa saja yang telah dibuktikan oleh akal dan argumen tak mencapai hati maka akal itu tidak memiliki kepecayaan kepada-Nya. Lanjut Khomeni mempertegas bahwa, kenyataannya bahwa orang yang memenuhi hatinya dengan kehadiran Allah dan memiliki kepercayaan kepada-Nya, meskipun mungkin mereka tidak akrab dengan argumen-argumen filosofis, akan membuat mereka menerapkan adab Kehadiran Allah. Oleh karena itu upaya-upaya akademis, termasuk filsafat dan ilmu kalam, adalah hijab-hijab dalam dirinya sendiri.[22]
Kenyataan ini dipertegas pula oleh pemikir tersohor Mulla Shadra bahwa di dalam Islam, iman bukan hanya sebagai jalan keselamatan saja, tetapi juga membawa  pengetahuan hati(heartfelt knowledge) melalui penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (syuhud) yang dialami oleh orang-orang beriman.[23]
Dari pemaparan tersebut di atas dimengerti bahwa tasawuf memang memiliki posisi strategis dan bahkan fital sebagai paradigma dalam kehidupan umat manusia untuk menggapai setiap impian-impiannya, dan lebih khusus terhadap harapannya akan kesempurnaan diri (insan kamil). Selain dari pada itu tasawuf dengan gayanya yang khas dan unik karena titik penekanannya ialah perolehan pengetahuan yang bersifat huduri (langsung) mengantar konsep-konsep yang dihasilkannya amat rumit mendapatkan bantahan-bantahan yang sifatnya demonstratif.


[1] Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 73.
[2] Ibid..,
[3] Abu al-Ala’ Afifi, Fii Tasawuf al-Islam wa Tarikhukhu, (Kairo : Matba’ah lajnah at-Ta’lif wa al-Nasyr, 1388 H), h. 60.
[4] Ibid..
[5] Ibnu Khaldum, Muqaddimah, (Qum : Dar Majma’ al-Bahrain), h. 648.
[6] Ibid..
[7] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan dan Kebatinan, (Cet. I; Jakarta : Ikapi, 2004), h. 26.
[8] Ibid., h. 27. Shufi juga dikenal dalam istilah jamid (yang tidak memiliki asal kata atau derivate) dalam bahasa Arab. Ia hanyalah gelar yang disandangkan kepada seseorang yang berperilaku zuhud. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Qusyairi dan didukung oleh as-Sarraj. Ibid.,
[9] Musthofa, Akhlak Tasawuf, (Cet. II, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), h. 207.
[10] Ensiklopedi Islam, Op.cit., h. 24.
[11] Ibid., h. 75.
[12] Muliadi Karta Negara, Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam. (Cet. II ; Bandung : Mizan, 2005), h. 61.
[13] Ibid., h. 65.
[14] Institut of Islamic Studies, Transcendent Philoshofy Jurnal. terj. Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan, Persepsi dalam Pemikiran Mulla Sadra. (Cet. I; Makassar : Safina, 2003), h. 165.
[15] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontruksi Holistik, (Cet. I; Bandung: Arasy, 2005), h. 142.
[16] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op. cit., h. 53.
[17] A. Khudori Soleh, Model-model Epistemologi Islam, yang dimuat dalam Jurnal Psikoislamika, Fakultas Psikologi UIN Malang, ed. Vol. 2/No. 2, Juli 2005. h. 4-5.
[18] Ibid., bandingkan dengan S.M.H Thabathaba’i, dalam bukunya Murtahda Muthahhari, menapak jalan spiritual, (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), h. 120.
[19] Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, Knoledge by Presencediterjemahkan oleh Ahsin Mohammad dengan judul Ilmu Huduri: Prinsip-prinsip Epistemollogi dalam Filsafat Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996), h. 51.
[20] Ibid., h. 244.
[21] Muliadi Kartanegara, op.cit., h. 21-22.
[22] Yamani, Wasiat Sufi Ayatullah Khomeni, (Cet. IV : Bandung : Mizan, 2002), h. 94.
[23] Institut of Islamic Studies , op.cit., h. 161.

No comments:

Post a Comment