Sunday 19 November 2017

Potret Sufi Modern Masa Kini

Masyarakat kita sering beranggapan bahwa ajaran tasawuf itu bersikap eksklusif. Artinya, bahwa ajaran tasawuf itu hanya dapat dipraktikkan dan diamalkan oleh orang-orang yang (sufi) mereka anggap sebagai “bukan manusia biasa”, karena mereka itu telah menjadiwaliyullah.
Karena itu, sebagian masyarakat kita memiliki persepsi bahwa seorang sufi adalah orang yang hanya menghabiskan waktunya di masjid untuk beri’tikaf, berdzikir, dan melakukan shalat-shalat sunnah. Atau mereka yang menyendiri (menyepi) di gua, gunung, hutan dan di pinggir-pinggir pantai, untuk melakukan kontemplasi. Atau juga mereka yang berpakaian lusuh, mereka yang menghabiskan siang dan malam hari hanya untuk ibadah, mereka yang berpernampilan awut-awutan dan mereka mempunyai pola hidup ‘anti dunia’.
Tidaklah demikian halnya, seorang manusia pilihan Alloh pada abad sekarang yang hidup pada masa kini, yang berada di tengah-tengah kita, Syekh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Al-Qodiri ra. yang lebih akrab dikenal dengan sebutan Abah Aos yang tinggal di kaki gunung Sawal daerah Panjalu Ciamis Jawa Barat ini adalah orang yang menggambarkan potret seorang sufi yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi zaman. Beliau berpenampilan gagah dan rapi yang menunjukkan bahwa Islam itu identik dengan keindahan. Akhlaq-nya begitu mulia dengan mengikuti akhlaq gurunya Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin ra. yang berjiwa sosial, suka menolong, membangun peradaban masyarakat yang lebih baik yang selalu menghormati dan menjunjung tinggi aturan AGAMA dan NEGARA.
Meski berada dalam kondisi berlimpah harta, namun itu tidaklah membuatnya lupa diri. Ibadah kepada Alloh SWT selalu tetap menjadi prioritasnya setiap waktu. Sholat tepat waktu, puasa hakikat, shodaqoh jariyah, dan ibadah lainnya selalu menjadi hal penting dalam hidupnya. Beliau selalu berkarya untuk dunia pendidikan dengan menyusun beberapa buku sebagai pedoman hidup beragama bagi ummat.
Banyak hal yang beliau kerjakan, baik yang bersifat ke-Tuhan-an dan kemanusiaan. Beliau adalah orang sholeh secara vertikal dan horizontal, baik kepada Alloh dan baik kepada sesama dan lingkungan serta makhluk lainnya. Beliau adalah jembatan ilmu dan amal bagi para murid yang selalu merindukannya. Beliau adalah pelopor pembuka jalan untuk melaksanakan ibadah dan kajian ilmu melalui MANAQIB di mesjid-mesjid terkemuka.
Beliau memiliki 12 Sifat kemuliaan : 1. Dua ( 2) Sifat Allah Swt, yakni a. menyembunyikan kesalahan makhluk ciptaan yang lain b. memiliki perasaan terharu ( kasihan ) dan kemauan memaafkan dosa yang terburuk sekalipun 2. Dua ( 2 ) Sifat nabi Muhammad Saw a. Cinta Kepada Allah, kepada sesama, kepada alam dan kepada dirinya sendiri b. lemah lembut dalam bertutur kata dan laku perbuatan 3. Dua ( 2 ) Sifat Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra a. Benar, Jujur dan Ikhlas b. taat dan Murah Hati 4. Dua ( 2 ) Sifat Sayyidina Umar Bin Khatthob ra a. Adil dan menekankan kebenaran b. mencegah kesalahan ( kemungkaran ) 5. Dua ( 2 ) sifat Utsman Bin Affan ra a. Rendah hati ( tawadhu ) b. bangun Malam dan berdo’a ketika orang lain lelap tidur 6. Dua ( 2 ) Sifat sayyidina Ali bin Abi Thalib kw a. ber Pengetahuan ( Pintar dan cerdas ) b. keteguhan hati ( Tidak mudah terpengaruh )

Saturday 18 November 2017

Ingat Mati 33 Kali Sehari!

Ingat Mati 33 Kali Sehari!

Dari mana dapat angka 33? Begini penjelasannya…
2 Menjelang dan Setelah Tidur + 4 Saat Berkendara + 27 Saat Shalat. Pas 33!

2 Tablet “Ingat Mati” Menjelang dan Setelah Tidur

Doa menjelang tidur
Menjelang tidur, kita membaca doa:
“Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan mati” Doa ini kalau kita panjatkan dan hayati dengan baik, maka ini merupakan sebuah dzikrul maut, atau ingat mati. Jika menjelang tidur anda baca doa ini, tapi tidak disertai dengan ingat mati, maka efek doa ini kurang bisa memperbaiki hidup anda. Mulailah malam ini “ingat mati” saat membaca doa itu.

Lalu setelah bangun tidur, kita membaca doa:

Doa bangun tidur
“Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku setelah mematikan aku dan kepadaNya kami kembali.” Doa ini juga merupakan dzikrul maut, atau ingat mati. Sudahkah kita sadari makna ritual tidur kita dengan “ingat mati”? Kalau belum, saatnya dimulai…

4 Tablet “Ingat Mati” Saat Berkendara

Doa naik kendaraan
“Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini bagi kami, padahal kami tidak kuasa mengendalikannya, dan kepada Allah kami akan kembali.” Doa harian ini juga lagi-lagi mengandung muatan dzikrul maut, atau ingat mati! Iya, kan?
Berapa kali sehari anda menaiki kendaraan? Sejumlah itulah anda harus MERASA minum “tablet ingat mati”. Kita naik kendaraan rutin saat berangkat kerja, pulang kerja dan untuk keperluan lainnya. Saya ambil rata-rata 4 kali naik kendaraan dalam sehari.

27 Tablet “Ingat Mati” Saat Shalat
Ingat mati waktu shalat, adalah perintah Allah dalam Al Baqarah 45:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. Yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Ada 3 bacaan shalat yang mengantar kita pada dzikrul maut:
1. Ingat mati saat membaca doa iftitah
“Inna shalatii wanusukii wamahyaaya wa mamaati lillahi rabbil alamin” Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya bagi Allah tuhan semesta alam”

2. Ingat mati saat membaca Al Fatihah
“Maaliki yaumiddiin” Yang menguasai hari pembalasan.

3. Ingat mati saat membaca doa sebelum salam
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari fitnah kejahatan Dajjal.”

Dalam shalat Isya ada 6 kali dzikrul maut, dalam shalat Subuh 4 kali, shalat Dhuhur 6 kali, shalat Ashar 6 kali dan dalam shalat Maghrib 5 kali. Totalnya ada 27 kali dzikrul maut (ingat mati) saat kita menjalankan shalat fardhu.

Jadi, DOSIS MINIMAL ingat mati dalam sehari semalam adalah 33 kali! Apakah sudah kita sadari ini?

Friday 10 November 2017

KOPI, MINUMAN PARA SUFI

KOPI, MINUMAN PARA SUFI

Kopi merupakan minuman yang biasanya digunakan masyarakat sebagai teman ngobrol, karena khasiat yang dirasakan pada umumnya sebagai pengusir rasa kantuk. Durasi yang mereka gunakan ngobrol pun bisa sepanjang malam. Inilah khasiat kopi yang sering disalahgunakan. Beda halnya dengan orang-orang ahli tasawuf yang menjadikan kopi sebagai sarana menyemangati mereka di dalam beribadah kepada Allah.
Seorang ulama bernama Syekh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa menggunakan sesuatu yang jaiz sebagai sarana maka hukumnya tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuannya untuk kebaikan maka penggunaan sarana tersebut bernilai pahala, dan jika tujuannya untuk maksiat maka bernilai dosa.
Menurut sejarah biji kopi baru ditemukan pada akhir abad ke-8 H di Yaman oleh penemu kopi Mukha, Imam Abul Hasan Ali bin Umar asy-Syadzili. Kemudian minuman kaum sufi tersebut disebarkan di berbagai tempat oleh Habib Abu Bakar Alydrus.
Banyak dari ulama yang menyukai minuman ini. Sebagian mereka bahkan memujinya dengan bait-bait syair. Syekh Hamzah bin Abdullah an-Nasyiri al-Yamani menggubah sekitar 80 bait syair mengenai manfaat kopi. Sebagian syair tentang kopi ini dinukil di beberapa perkataan ulama tentang manfaat minuman orang-orang ahli makrifat ini:
Wahai orang-orang yang asyik dalam cinta kepada-Nya, kopi membantuku mengusir kantuk
Dengan pertolongan Allah, kopi menggiatkanku taat beribadah kepada-Nya di kala orang-orang terlelap tidur
Qahwah (kopi), Qâf adalah Qût (makanan), Hâ adalah Hudâ (petunjuk), Wawu adalah Wud (cinta), dan Hâ adalah Hiyâm (pengusir kantuk
Janganlah kau mencelaku karena aku meminumnya, sebab kopi adalah minuman orang-orang mulia
Sebagian orang-orang shaleh mendapatkan kabar gembira dari Rasulullah tentang kemuliaan meminum kopi. Hal ini pernah terjadi kepada waliyullah al-Habib Hasan bin Shaleh al-Bahar. Beliau pernah bermimpi, dan meminta kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, berilah aku hadis tanpa ada perantara sanad!”
Rasulullah menjawab 3 hal, di antaranya, “Selama rasa kopi tersebut masih ada di mulutmu, para malaikat senantiasa beristighfar dan memintakan ampun untukmu.”
Disadur dari “Sosok Kebanggaan Umat, Syekh Abu Bakar bin Salim”
(Dimuat di Buletin IstinbaT PP. Sidogiri, edisi 244)

Monday 6 November 2017

TASAWUF; Bagian dari Paradigma Keilmuan

TASAWUF; Bagian dari Paradigma Keilmuan

WEDNESDAY, DECEMBER 9, 2015LABELS: 

A.    Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, terdapat sejumlah kata/istilah yang sering dihubungkan dengan tasawuf, diantaranya ialah :
a.    Shaf, artinya barisan dalam berjamaah. Istilah ini dilekatkan karena para pelaku tasawuf (sufi) senantiasa memilih barisan terdepan dalam shalat berjamaah. Disamping itu, mereka juga beranggapan bahwa seorang sufi akan senantiasa berada dibarisan terdepan/pertama dihadapan Allah SWT.[1]

 
b.    Saufanah, yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Peletakan nama ini disebabkan karena para sufi banyak menggunakan pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik namun kesuburan hatinya dijaga.[2]
c.    Shafa’, artinya suci bersih. Maksudnya bahwa para sufi senantiasa menyucikan niatnya dalam setiap tindakan dan ibadahnya (pengabdian kepada Allah).[3]
d.   Suf, artinya wol atau kain berbulu kasar. Disebut demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutra yang biasa dipakai oleh orang-orang kebanyakan.[4] Pakaian ini melambangkan kesederhanaan, kemiskinan dan kejauhan dari dunia. Ibn Khaldum, al-Yafi’i, Hasan al-Bashri, Suhrawardi dan lainnya mendukung arti terakhir ini.[5]
e.    Berasal dari bahasa Yunani yaitu Theosophi (Theo : Tuhan; Sophos : Hikmat) yang berarti hikmat ketuhanan. Kata ini dirujuk karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.[6]
f.     Shufa, sebutan bagi zahid (hidup sederhana) yang mengabdi sebagai pelayan mesjid. Nama aslinya adalah Ghauts bin Mur yang karena kemasyhurannya, setiap orang yang zuhud dijuluki sufi. Pendapat ini dilontarkan oleh Dr.Qasim Ghani.[7]
g.    Shufi juga dikaitkan dengan Shafwan, yaitu para khadim (pelayan) Ka’bah  dan pemandu haji pada masa jahiliah, yang dikenal sebagai orang-orang zuhud. Ar-Raghib mengutip pendapat ini.[8]
Dari sekian banyaknya pengertian secara etimologis, jelas akan berujung pada ambiguitas paradigma karena rumitnya menarik kesepahaman terkait dengan pengertian yang mana hendak digunakan atau dikukuhkan. Konsekuensi logis dari keragaman tersebut ialah lahirnya pengertian tasawuf secara terminologis yang beragam, dan berikut pengertian yang penulis sempat nukil dan dapatkan:

a.       Ibrahim Hilal merumuskan bahwa defenisi Tasawuf sebagai berikut :
1.      Memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya.
2.      Tasawuf adalah bermacam ibadah, wirid, lapar, berjaga diwaktu malam dengan memperbanyak shalat dan zikir, sehingga lemahnya unsur jasmani dari diri seseorang dan semakin kuatlah unsur rohaniahnya.
3.      Tasawuf ialah menundukkan jasmani dan rohani dengan jalan yang disebutkan di atas sebagai usaha mencapai hakekat kesempurnaan rohani dan mengenal Zat Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya.
b.      Menurut Zakaria al-Anzhari, tasawuf adalah cara mensucikan jiwa, tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.[9]
c.       Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, tasawuf adalah menjabarkan ajaran Alquran dan sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan.[10]
d.      Menurut Ahmad Amin, Tasawuf adalah bertekun dalam beribadah berhubungan langsung dengan Allah Swt, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak dan menghindarkan diri dari makhluk dalam berkhalawat untuk beribadah.[11]

B.     Kerangka Epistemologis Tasawuf
Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu, telah digandrungi oleh beberapa kalangan dari dahulu hingga sekarang, khususnya bagi yang memiliki harapan untuk melakukan perjalanan spiritual, sebab memang telah diyakini bahwa pintu tersebut merupakan pintu yang paling efektif dalam menjalin kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.
Sebagai disiplin ilmu, tentu saja tasawuf memiliki kerangka epistemologis yang berbeda dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain sehingga ia beresensi dan berkarakter. Dan pada pembahasan ini penulis coba mengelaborasi beberapa paradigma, meski demikian perlu kiranya penulis paparkan cara kaum Muslimin memahami realitas sebagaimana yang diungkapkan oleh Muliadi Karta Negara bahwa, terdapat tiga macam metode manusia dalam memahami sesuatu sesuai dengan tingkatan atau hirarki wujud, yaitu : 
  1. Metode observasi atau disebut bayani. 
  2.  Metode logis atau demonstratif, dalam Islam dikenal dengan istilah burhani. 
  3. Metode intuitif atau irfani,[12] yang masing-masing bersumber pada indera, akal dan hati.
Pada pembahasan ini penulis hanya fokus membahas poin yang ketiga sebagai tema sentral makalah ini. Sebagai stressing bahwa, selain akal manusia memiliki alat lain yang dapat digunakan untuk menangkap realitas non fisik, alat ini adalah bagian dari karunia terbesar Tuhan, yaitu “hati” (qalb), atau intuisi. Meski akal dan hati sama-sama mampu menangkap objek-objek nonfisik, namun keduanya menggunakan pendekatan yang berbeda. Suhrawardi sebagaimana yang dikutif oleh Muliadi menyebut pendekatan akal dengan bahtsi (diskursus), sedangkan hati dengan dzauqi (presensial).[13]
Pendekatan intuitif (dzauqi) disebut pendekatan presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seseorang, dan karena itu modus ilmu seperti ini disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) oleh karena objek-objek yang ditelitinya hadir dalam jiwa, manusia bisa mengalami dan merasakannya, dan dari sinilah isitilah dzauqi (rasa) timbul.
Ilmu dengan kehadiran ini merupakan elemen yang sangat mendasar (fundamental) didalam epistemologi Mulla Sadra. Nampak misalnya dari pendapatnya bahwa persepsi terhadap realitas wujud tidak mungkin dapat dicapai kecuali melalui kehadiran dan penyaksian langsung. Dan didalam medefenisikan ilmu huduri Sadra mengatakan bahwa kadang-kadang pengetahuan dikenali melalui wujud objek yang diketahui. Contoh yang mampu diterima oleh semua para filosof yakni persepsi jiwa terhadap dirinya sendiri, dimana tidak ada satupun perantara diantara keduanya (yaitu pengetahuan jiwa dan jiwa itu sendiri).[14]
Maka dari itu, jelaslah bahwa metode tasawuf, tidak didasarkan pada pengamatan indrawi atau intelektual (akal) tetapi lebih pada pengamatan intuisi (hati). Adapun ciri khas pengetahuan intuitif adalah kelangsungannya, dalam arti pengenalan langsung (tanpa melalui perantara) terhadap objeknya. Ini terjadi karena adanya identitas yang antara subjek dan objek atau antara subjek yang mengetahui dan objek yang di ketahui tidak lain dari diri sendiri sehingga yang dihasilkan sebenarnya adalah self knowledge (pengetahuan tentang diri sendiri oleh diri sendiri).[15]
Pengetahuan yang didasarkan pada penyingkapan secara langsung ini sering disebut sebagai mukasyafah (penyingkapnya) langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia dari realitas-realitas yang ada.[16] Oleh karena itu pengetahuan tasawuf tidak diperoleh melalui analisis teks, akan tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung, masuk dalam pikiran, kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan tasawuf setidaknya dapat diperoleh melalui tiga tahap, yaitu :[17]
Tahap pertama, persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan kasyaf, seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, (1) Taubat, mengakui segala bentuk perbuatan buruk dan berjanji tidak melakukannya lagi, (2) Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang sifatnya subhat (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan urusan-urusan duniawi, (4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak mengharapkan sesuatu apapun kecuali Allah swt., (5) Sabar, (6) Tawakkal dan, (7) Ridha.[18]
Kedua, tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkatan tertentu dalam sufisme, maka seseorang akan mendapatkan limpahan pengetehuan langsung dari Allah swt., secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang mutlak, sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda akan merupakan satu eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitupula sebaliknya. yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut sebagai ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek.[19]
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman-pengalaman mistik yang dialami oleh sufi kemudian diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan tulisan secara logis. Namun, karena pengetahuan irfani bukan termasuk dalam tatanan konsepsi dan representasi, tetapi terkait dengan kesatuan kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomukasikan, maka tidak semua pengalaman spiritual seorang sufi bisa diungkapkan.[20]
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa tasawuf memang betul-betul memiliki kerangka epistemologis yang berbeda dengan yang lain, sehingga itu pula yang menjadi esensialitas bagi dirinya sehingga ia mendapat kelayakan ilmiah untuk disifati sebagai kerangka teoritik selain indera dan rasio.
C.    Tasawuf Sebagai Sebuah Paradigma
Berangkat dari pembahasan sebelumnya, terkait dengan landasan epistemologi tasawuf yang secara teoritik telah dikemukakan, maka pada poin ini penulis hendak mempertegas kelayakan tasawuf sebagai sebuah paradigma intelektual.
Adalah hal yang tidak dapat disangkal bahwa beberapa perangkap epistemologis yang telah disebutkan sebelum epistemologi tasawuf (indera dan rasio/akal), disinyalir dan atau bahkan diyakini tidak mampu menjawab secara totalitas berbagai keresahan dan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang terkait dengan rahasia kosmologi dan ke-Tuhan-an, Jalaluddin Rumi mempertegas hal ini dalam kritikannya, sebagaimana yang dikutif oleh Muliadi Kartanegara bahwa upaya para pilosof dalam menemukan realitas, boleh dikata sia-sia karena meskipun realitas tersebut tidak jauh, bahkan lebih dekat dari nadi lehernya sendiri, namun para filosof justru meninggalkan dan mengabaikannya. Bahkan dengan nada sinis ia  mengatakan bahwa para filosof boleh berbangga dengan beribu ilmu pengetahuan, tetapi dengan dirinya sendiri, mereka tidak tahu apa-apa. Demikian juga terhadap kaum empiris atau materialis yang hanya percaya pada persepsi indra, Rumi melontarkan beberapa komentar bahwa, bagi mereka yang tidak dapat melihat unta di atas menara, bagaimana kita harapkan mereka dapat melihat jarum di mulut unta itu. Mereka hanya percaya pada yang lahiriah, padahal mungkinkah disana ada yang lahiriah tanpa yang batiniah?.[21]
Fakta ini jelas menghendaki adanya pengusungan bentuk paradigma baru yang pada prinsipnya dapat mengakomodir serta menyelesaikan setiap bentuk kesangsian-kesangsian manusia dalam hidupnya. Dan dalam kondisi yang seperti ini, tasawuf/sufisme yang dianggap punya tawaran epistemologi tersendiri, diyakini sebagai modus alternatif kerangka pengetahuan baru.
Kehadiran tasawuf sebagai kerangka pengetahuan baru, disinyalir dan bahkan dikuhkukan oleh beberapa tokoh pemikir sebagai solusi bagi berbagai macam paradox yang dihasilakan oleh penjelajahan indra dan akal. Sebut saja misalnya Al-Gazali yang tidak satu pun pemikir muslim dapat menyangsikan kehebatan intelektualnya, justru menjadikan tasawuf (sufisme) ini sebagai pelabuhan terkahir dalam pergolakan wacana dan keilmuannya.
Demikian halnya dengan Imam Khomeni yang nampak jelas dalam wasiat yang disampaikan kepada anaknya bahwa kaum filosofis membuktikan Kemaha hadiran Allah dengan argumen-argumen rasional. Akan tetap, selama apa saja yang telah dibuktikan oleh akal dan argumen tak mencapai hati maka akal itu tidak memiliki kepecayaan kepada-Nya. Lanjut Khomeni mempertegas bahwa, kenyataannya bahwa orang yang memenuhi hatinya dengan kehadiran Allah dan memiliki kepercayaan kepada-Nya, meskipun mungkin mereka tidak akrab dengan argumen-argumen filosofis, akan membuat mereka menerapkan adab Kehadiran Allah. Oleh karena itu upaya-upaya akademis, termasuk filsafat dan ilmu kalam, adalah hijab-hijab dalam dirinya sendiri.[22]
Kenyataan ini dipertegas pula oleh pemikir tersohor Mulla Shadra bahwa di dalam Islam, iman bukan hanya sebagai jalan keselamatan saja, tetapi juga membawa  pengetahuan hati(heartfelt knowledge) melalui penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (syuhud) yang dialami oleh orang-orang beriman.[23]
Dari pemaparan tersebut di atas dimengerti bahwa tasawuf memang memiliki posisi strategis dan bahkan fital sebagai paradigma dalam kehidupan umat manusia untuk menggapai setiap impian-impiannya, dan lebih khusus terhadap harapannya akan kesempurnaan diri (insan kamil). Selain dari pada itu tasawuf dengan gayanya yang khas dan unik karena titik penekanannya ialah perolehan pengetahuan yang bersifat huduri (langsung) mengantar konsep-konsep yang dihasilkannya amat rumit mendapatkan bantahan-bantahan yang sifatnya demonstratif.


[1] Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 73.
[2] Ibid..,
[3] Abu al-Ala’ Afifi, Fii Tasawuf al-Islam wa Tarikhukhu, (Kairo : Matba’ah lajnah at-Ta’lif wa al-Nasyr, 1388 H), h. 60.
[4] Ibid..
[5] Ibnu Khaldum, Muqaddimah, (Qum : Dar Majma’ al-Bahrain), h. 648.
[6] Ibid..
[7] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan dan Kebatinan, (Cet. I; Jakarta : Ikapi, 2004), h. 26.
[8] Ibid., h. 27. Shufi juga dikenal dalam istilah jamid (yang tidak memiliki asal kata atau derivate) dalam bahasa Arab. Ia hanyalah gelar yang disandangkan kepada seseorang yang berperilaku zuhud. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Qusyairi dan didukung oleh as-Sarraj. Ibid.,
[9] Musthofa, Akhlak Tasawuf, (Cet. II, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), h. 207.
[10] Ensiklopedi Islam, Op.cit., h. 24.
[11] Ibid., h. 75.
[12] Muliadi Karta Negara, Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam. (Cet. II ; Bandung : Mizan, 2005), h. 61.
[13] Ibid., h. 65.
[14] Institut of Islamic Studies, Transcendent Philoshofy Jurnal. terj. Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan, Persepsi dalam Pemikiran Mulla Sadra. (Cet. I; Makassar : Safina, 2003), h. 165.
[15] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontruksi Holistik, (Cet. I; Bandung: Arasy, 2005), h. 142.
[16] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, op. cit., h. 53.
[17] A. Khudori Soleh, Model-model Epistemologi Islam, yang dimuat dalam Jurnal Psikoislamika, Fakultas Psikologi UIN Malang, ed. Vol. 2/No. 2, Juli 2005. h. 4-5.
[18] Ibid., bandingkan dengan S.M.H Thabathaba’i, dalam bukunya Murtahda Muthahhari, menapak jalan spiritual, (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), h. 120.
[19] Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, Knoledge by Presencediterjemahkan oleh Ahsin Mohammad dengan judul Ilmu Huduri: Prinsip-prinsip Epistemollogi dalam Filsafat Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996), h. 51.
[20] Ibid., h. 244.
[21] Muliadi Kartanegara, op.cit., h. 21-22.
[22] Yamani, Wasiat Sufi Ayatullah Khomeni, (Cet. IV : Bandung : Mizan, 2002), h. 94.
[23] Institut of Islamic Studies , op.cit., h. 161.

TAREKAT MAULAWIYAH

TAREKAT MAULAWIYAH

WEDNESDAY, MARCH 16, 2016LABELS: 


Latar Belakang
data:image/jpeg;base64,/9j/4AAQSkZJRgABAQAAAQABAAD/2wCEAAkGBwgHBgkIBwgKCgkLDRYPDQwMDRsUFRAWIB0iIiAdHx8kKDQsJCYxJx8fLT0tMTU3Ojo6Iys/RD84QzQ5OjcBCgoKDQwNGg8PGjclHyU3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3Nzc3N//AABEIAGEASAMBIgACEQEDEQH/xAAcAAABBAMBAAAAAAAAAAAAAAAGAAMEBQECBwj/xAA4EAACAQMCAwQIBAUFAAAAAAABAgMABBEFIRIxUQZBYXETFCIygZGx8COhwdEzNELh8QdSU2KS/8QAGQEAAgMBAAAAAAAAAAAAAAAABAUBAgMA/8QAIhEAAwACAgICAwEAAAAAAAAAAAECAxESIQQxIkEFUWET/9oADAMBAAIRAxEAPwDlxJZjT6gnnitgiq2wpwYpskDtmBjuFb4GwrIUcycU/FbM0kQkVkRzsxHMdR1rqalbZC23pG1lYtdMCziOL/kIzk+A76tINBRn4WLkdzcgfKnrXEjcCgejHs4xsABjFXVviJevsgsrcx5/nSHyPPyt/F6Q0xeLCXfYOavoRtrUXlmzPb8XDIpOTEfPvFVHBw9/nXS9P4WhmhWBSrx8LcbEqFOc+HSgDUIBbXk9uueGKRlGeeM7UX+P8usycX7QN5WFY3teiFhhsN6VOEDB60qYNApCxvipVjazXk6QQRl5XOFAphFyxycUf9mYLCG1QWE6zzy7TygEcA29kZ3A+vPwqM2X/OdkxHJmINJtNCshM+JrrH8bGd+iA8gCR7XM52xtV9omjWoJnvU45LuPhcSE4DZYFc8+RXfqPhVTckXupWyGN2R5gEWPGeBQcEZ8Rn4UR3CPfSiP1UZJHFJ6wUU56gZwd+W9Kqqq9sKSU+gV1LSjol46HjaHGI2bGRnuYdfyPdUd7qI5BwckZ257g0fS9moJrQw6ldymM8uN918idxvWLHsXotuySRC5kdTs0kv9h16ULeBN7TCIzaWmDWnzJupXkQHB5Z7/ANaBtVuRdajdzpnEkrEeWdq7rY9ntNslHoLYE5zlmLHPmfjXGe16xDtRqojQKounwB5/Zoz8bh4XTYP5WTmkUvzpVt/SdhSptsEIZDI5Vhgg4I6UZ9ntXWbTWhnkhjmt4ikSr7LODtxY5EgZoRuv5uc8vxG+tb2kcryKIELPz2GcVTLjWSdMtDcvYWajO9rfWfCzKI4guVA5kDr5/nV4nbGwsIAkfpXlO3Fbjl5M3Lxbcnw2xQxJFfWd3b3+TesnCr4HDGO4j5VK7PtDZovDGkbJEWlmC5YsOe/Qk7Dlt47qraXQVHyLO2/1Bt45OI6bHGp/reUyOfif3on0XtXaapMsSXccUrco5IuEk9AwYqT4ZzQNcC7uLoXDSB2Yli68OMgZx7Qxv8PMVKknivdPi9etLfjkuDGs6H0PCoxh2Y56gY6kYxWHNv0bvCkjp97cLaWU95cyuIYImkkVUGcAZPWvP2r3p1HUbm8YBTPKz8OeQJ2FGN7234+xtxpzTenupfwI5SSeOI5DMT1GCPiDQAWzypp4U/HmA5unoyCPvvpU3nfGdqVFMzSLG2071i6lknyEMrYXO53NElrBDCPRQqqhfe+/jVdGjtcysRkcbHHx/tVjBHhcE7sfv60ry5Kt9s0S0S/QpJE8w9l4iOXiN/1qN2ZszdT6pCZSiFVXn132/wDC1vI5j9Zxk7gY8cD9zS7LyCPXNTidC6i3DELz2IG3j7VUl9MvPTTRZaRJqK2EthaWQmlRyHldgsca+JPf0qVFbGKwVzBIY1t5+GZJVZHJODgg7nYfKinS9Ojk0yK0YAwSzOZM82AOw/IfKoXa2NNL0eaG3HDHLIoRVAAUY3+g+dYTCbCqzPRxnUtLl0z0aEcVs20UijY9+D0NQu7aj2RY54ZbW4Xjhfcjp0IoJvLdrW5lgY+42M9eh+VOcGXktP2hfS+yNSrOCN6VaslBahImlz/vbHzqbZhpp0Tptn7+FVnEwnlHP8Rvqf2qRc3UtlpoEBC3N03o0JPujvb4Ck1fo0RvaXHpZ7m6APommYx5HvBdg3kT9DTvY8FdXk1CVZGiYNF7A9rcY4vhgVX2MQmlS0SQLCmFllfkB/juoyu1SwtYrS0ABEXskLvk/kO8/wCapd8el9muPHyewmi1fTzGBZTwyqNygfcDPTpQh251ma4eFUjb0ULcTEcnGO7rjnVTPb29tKU9VYzRRqxnK+y+/u5+P1q+vWtp9OEYABbdTnAjwBnbzA+dSrUUto0vE9dFBHMsyI8ZBIHDt3qeR+lUnaW2JKXaju4JMfkf0+VTGilsJyqKSmcsmc48R1HLapnpYLmHfDoykMvgf80ZFcKVID0BXIZpU7dwmC5khzkIxAPUdxpUdvZwQKpN1IDt+IxPzqvvruS6v+GAcUmDFB0UDm330FXU89jbJNNLPHGAGPtKSc5/t3YpjRtHjk02bVbi5WEH2jjGEXOAuw5+WPzpO7U9s2idsINP0e3s+zuWdWlZuJ358ONySfAZp62ufWGLlsiMkAHuH2KEJO00s7LFbzxizjBAiGScd5Ygd/SntN1u1SPjMygHAxxDPCP1/esONLth0cUEt4bh5JOIReqBAQcnj4wfljANarcvZvFcxAHnxKeR+/0odl1SyN9JIsoW5mjVOAvzTPPHLuqZPqMLcMSSKxG+Qas5ZZNPYRyW8GradIIPRRyDdSFAZT3Aft4GhLU4Z9MZGmVQzHJdT7LHoehqPJq8A1FhBdqqIoTKtjiO+frir221fRtStl02cp6R84IGMH4jzq8VWNfwFyYk30D15apfQPNB/FVONf8Auo5jzFZpXUE2hagkcjD0JfijbuI78fA0qMjPpAzk7XLybzp4fyzffSlSoey8kYe4fOnF9ylSqSRs8viaXdSpVxKHY/dPnWJP4i+dKlUMn6Hbjknl+lKlSq0ejNn/2Q==
Tasawuf sebagai bagian dari kemulitan dimensi keagamaan senantiasa berkembang, meski pun kesannya sangat lamban namun langkahnya cukup pasti dan mengakar. Awal-awal proses internalisasinya hanya terbatas pada praktek-praktek ritual individual, tapi seiring dengan arus komunikasi dan interaksi antara individu yang satu dengan yang lainnya, konstuksi ritual-ritual individual itu kemudian disepakati oleh yang lainnya sehingga mulailah terbentuk kelompok.
Tuntutan fitrah kemanusiaan akan kesempurnaan dan pemahaman mendalam terkait dengan rahasia-rahasia kehidupan, maka kelompok ini kemudian melakukan pengorganisiran dengan cara membentuk suatu aliran/corak pemikiran dan ritual sebagai media untuk melakukan penguatan serta pendalaman ajaran-ajaran kepada para simpatisannya, hal ini dimaksudkan untuk memberi andil dalam menjawab kebututuhan asasi manusia itu sendiri.
Menguatnya kelompok-kelompok tasawuf ini telah turut memberikan konstribusi dalam perkembangan agama, dan bahkan secara konsisten para aktornya terus tampil kepermukaan untuk mengintrenalisasikan ajaran-ajaran kesadaran akan nilai dan hakikat kehidupan. Jalauddin Rumi misalnya, hingga kini namanya dan ajarannya terus dikenang, bahkan ia diasumsikan sebagai figur manusia universal.[1]
Ia bagai gerbang raksasa bagi kemnausiaan, ribuan orang yang tersentuh dengan ajaran-ajaran dan karya-karyanya yang dipublikasikan lewat aliran tasawuf Maulawiyahnya. Ia diibaratkan sebagai obat yang mampu menyembuhkan luka yang ditimbulkan oleh kegamangan intelektual serta keresahan kemanusiaan.
Melalui pendekatan spiritual yang bercorak artistik dan kreatif, tarekat ini menyapa kebimbangan manusia dalam kesadaran akan ketidak menentuannya dalam menjalani kehidupan. Wajar jika aliran tasawuf ini banyak diapresiasi dari generasi ke genarasi, bukan hanya di Barat melainkan Timur pun mulai melirik dan mendalami alur paradigma dan spiritulitas yang diembannya.
Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaiaman sejarah Terbentuknya Tarekat Maulawiyah?
2.      Bagaimana Pemahaman yang diusung oleh Tarekat Maulawiyah?
3.      Seperti apa ciri-ciri yang dimiliki tarekat Maulawiyah?
4.      Apa karya-karya yang lahir dari tarekat ini?
5.      Bagaimana perkembangannya hingga saat ini?

Sejarah Terbentuknya Tarekat Maulawiyah 
Tarekat (thariqah) secara harfiyah berarti jalan kecil, dan jika makna ini ditarik masuk kedalam pemahaman yang lebih dalam, maka ia memiliki dua pengertian yang berbeda namun tetap saling terkait. Yang pertama, tarekat dimengerti sebagai perjalanan spiritual menuju Tuhan. Yang kedua, tarekat dipahami sebagai “persaudaraan“ atau ordo spiritual yang biasanya merupakan perkumpulan yang dipimpin oleh seorang guru (mursyid), dan para khalifahnya.
Penamaan tarekat maulawiyah merupakan turunan dari kata maulana yang berarti guru kami atau dalam istilah lain our master, yaitu gelar yang diberikan murid-muridnya kepada sorang sufi penyair Persia terbesar Muhammad Jalal al-Din Rumi yang wafat pada tahun 1273.[2]Dari sini jelas terpahami bahwa tarekat ini didirikan oleh Rumi yang meninggal di Anatolia Turki. Khas dari aliran tarekat ini ialah tarian mistik dengan cara keadaan tidak sadar (fana’), agar dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut-penganutnya bersifat pengasih dan tidak berharap pada kepentingan diri sendiri, serta berpengarangai degan gaya hidup yang sangat sederhana.[3]
Maulana Rumi merupakan sapaan akrab bagi Jalal Al-Din Muhammad, lahir di Kota Balkh (Afganistan sekarang) pada tanggal 6 Rabi’ul Awal, tepatnya 30 September 1207, dari sisi ayahnya ia merupakan keturunan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, sedangkan dari pihak ibunya mata rantai kekeluargaannya tersambung dengan Ali bin Abi Tholib.
Keluarga Rumi merupakan keluarga terpandang, satu bukti ialah ayahnya Baha'al-Din Walad diangkat jadi pembimbing spiritual oleh Sulat Konya, bahkan Sultan tersebut juga memberinya gelar kerhormatan "Sultan al-Ulama (rajanya para ulama)". Setelah ayahnya meninggal, Rumi mengambil posisi ayahnya sebagai penasehat para ulama Konya serta pembimbing bagi murid-murid ayahnya, kurang lebih satu tahun dari kematian ayahnya, atas anjuran gurunya Burhan al-Din Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo dan mengunjungi beberapa madrasah yang dibangun oleh al- Malik al-Zhahir. Dari sini Ia pindah ke Damaskus dan mempunyai kesempatan emas untuk bercakap dengan tokoh-tokoh besar, seperti Muhy al-Din bin 'Arabi, Sa'ad al-Din Al-Hamawi, Utsman Al-Rumi, Awhad al-Din bin Arabi, dan Shadr al-Din al-Qunyawi. Pada tahun 1236 Rumi kembali ke Konya dan menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan memberikan bimbingan spiritual sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 1241.[4]
 Selama bertahun-tahun Rumi menikmati popularitasnya yang tinggi dan menempati posisi yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin. Tiba-tiba pada tahun 1244 seorang Darwisy misterius, Syams al-Din Tabrizi datang ke Konya dan menjumpai Rumi. Perjumpaan ini telah mengubah Rumi dari seorang Teolog terkemuka menjadi seorang penyair mistik yang sangat terkenal. Karena kuatnya pesona kepribadian Syams, Rumi lebih memilih meninggalkan kegiatannya sebagai guru dan da'i profesional untuk mengabdikan diri kepada Syams yang kini menjadi guru spiritualnya, dan mereka tidak pernah berpisah dalam beberapa waktu untuk memperkuat ikatannya. Tetapi keadaan ini membuat murid-murid Rumi marah dan cemburu karena tidak mendapat bimbingan spiritual akibatnya mereka menyerang Syams dengan kekerasan dan ancaman, sehingga ia meninggalkan Rumi menuju Damaskus.
Perpisahan ini dirasa menyakitkan oleh Rumi dan menghunjam perasaannya begitu mendalam, karena itu ia mengutus anaknya sultan Walad untuk memohon Syams agar kembali ke Konya. Rumi bahagia bisa jumpa lagi dengan sang guru, akibatnya apa yang telah terjadi terulang kembali. Tentunya murid-murid Rumi menjadi lebih marah dan terus menaruh kebencian pada Syams dengan lebih hebat dari sebelumnya. Situasi ini mendorong Syams untuk mencari perlindungan ke Damaskus.
Sebagai tanda cintanya kepada Tabrizi, Rumi menulis kumpulan puisi yang kemudian dikenal dengan Divan-e Shams-e Tabrizi.[5]
Kenapa aku harus mencari?
Aku sama dengannya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang kucari adalah diriku sendiri!
Cinta dan keindahan membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran tarekat lain. Sejumlah tarekat saat itu lebih banyak berkonsentrasi untuk menyempurnakan diri menuju insan kamil lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan faham ketauhidan baru. Penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul wujud) yang berkembang berabad-abad sebelum Rumi di Baghdad adalah salah satu cara pencapaian menuju Tuhan yang tidak dipilih Rumi.
Sebagai seorang seniman, Rumi memiliki cara sendiri dalam mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi ekstrem (membangun pertentangan dengan syariat). Ia memanfaatkan puisi, musik dari seruling dan gitar (rebab) untuk mengiringi dzikir-dzikirnya, cara ini kemudian dikenal dengan sema’ yang berarti mendengar.[6]
Setelah kembali ke Konya, Rumi mendirikan Tarekatnya sendiri, kira-kira 15 tahun setelah itu kesehatan Rumi menurun dan tak lama kemudian ia sakit. Akhirnya pada hari minggu tanggal 16 Desember 1273  Mawlana Rumi menghembuskan nafasnya yang terakhir di kota Konya. Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah Hijau (Qubat-ul-Azra’) yang bertuliskan“Saat kami meninggal, jangan cari kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.”Namun ritual sema’ itu tak ikut mati. Para pengikutnya, terutama anaknya, Sultan Veled Celebi, melembagakan ajaran itu dalam tarekat bernama Mawlawiyah atau Mevleviye. Mungkin ini pulah yang menjadi penyebab bagi Annemarie Shimmel menyimpulkan bahwa kita dapat dengan aman mengatakan  bahwa tidak ada penyair dan mistik Islam lainnya yang dikenal demikian baik di Barat kecuali Rumi.[7]
Pemahaman Tarekat Maulawiyah 
Ajaran-ajaran Rumi, pada dasarnya dapat dirangkum dalam triologi metafisik, yaitu  Tuhan, Alam dan Manusia.[8]
1.      Ajaran Maulana Rumi tentang Tuhan
Gagasan Rumi terkait dengan persoalan ke-Tuhan-an terinspirasi dari pernyataan Al-Quran sendiri yang menyatakan bahwa Tuhan adalah “Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir, Yang Batin”.[9] Tuhan “Yang Awal” bagi Rumi, berarti bahwa Ia adalah sumber yang dari-Nya segala sesuatu berasal. Tuhan sebagai “Yang Akhir” diartikan sebagai tempat kembali segala yang ada di dunia ini. Hal yang menarik dari Dia ialah pandangannya tentang Tuhan itu sebagai keindahan sehingga menjadi tujuan dari semua jiwa yang mencinta.[10]
Tuhan sebagai “Yang Lahir”, bagi Rumi  dunia yang lahir adalah fenomena yang dibaliknya terselip pesan akan realitas sejati, artinya bahwa dunia yang lahir merupakan petunjuk bagi adanya yang batin karena keduanya adalah dua hal yang saling terkait, maka dari itu Ia mempertegas bahwa tidak mungkin ada yang lahir tanpa ada yang batin, dan yang lahir merupakan jalan menuju realitas yang tersembunyi di dalamnya.
Dengan demikian, Tuhan sebagai “Yang Batin”, adalah realitas yang lebih mendasar, sekalipun untuk dapat memahaminya dibutuhkan mata lain yang lebih peka/tajam. Jadi tidak semua orang dapat melihat kecantikan Tuhan yang tersembunyi di balik fenomena alam. Kebanyakan kita adalah pemerhati fenomena dan karena itu tidak bisa melihat keindahan batin yang tersembunyi di balik fenomena lahiriah alam.
2.      Konsep Rumi tentang alam semesta
Menurut Rumi bahwa motif penciptaan alam oleh Tuhan adalah cinta. Cintalah yang telah mendorong Tuhan mencipta alam, sehingga cinta Tuhan merembas, sebagai napas Rahmani, kepada seluruh partikel alam lalu menghidupkannya.[11] Alam bukanlah benda mati, melainkan ia hidup dan berkembang, bahkan juga memiliki kecerdasan, sehingga mampu mencintai dan dicintai, berkat sentuhan cinta Tuhan, ia menjadi makhluk yang hidup, bergerak penuh energi kearah Tuhan sebagai yang Maha baik dan SempurnahDalam salah satu syairnya, Rumi pernah menggambarkan hubungan langit dan bumi seperti sepasang suami-istri.[12]
3.      Konsep Rumi tentang manusia
Rumi memandang manusia sebagai tujuan penciptaan alam, sehingga itu pula yang menjadi penyebab kenapa kemudian manusia memiliki posisi yang sangat istimewa kaitannya dengan alam maupun dengan Tuhan. Kaitannya dengan Tuhan, manusia menempati posisi yang tinggi sebagai wakil-Nya di muka bumi.
Hal lain yang menarik dari Rumi kaitannya dengan manusia adalah sifat kebebasan memilih yang merupakan prasayarat bagi perkembangan dan aktualitas diri manusia itu sendiri.[13]Menurutnya bahwa manusia lahir tidak dalam keadaan sempurna, tapi ia dibekali dengan sejuta potensi dan untuk mengaktualkan hal tersebut manusia membutuhkan kebebasan dalam memilih. Dengan kebebasan inilah manusia dapat mencapai titik kesempurnaannya sebagai insan kamil.Tapi dengan kebebasan ini pula, manusia memiliki resiko yang besar untuk mejadi makhluk terendah, yaitu ketika dia menuruti hawa nafsunya.[14]
Selain itu, Manusia juga memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu atau dengan kata lain mampu memiliki ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia bertingkat-tingkat sesuai dengan alat yang digunakan untuk tujuan itu. Ada pengetahuan indrawi, pengetahuan yang didasarkan penalaran akal, dan pengetahuan melalui persepsi spiritual (intuisi).
Ciri Utama Tarekat Maulawiah 
Kekhususan tarekat ini adalah dakwah yang dikemas dengan cara menggunakan tarian-tarian yang disebut sama’ dalam bentuk tarian berputar, dan telah menjadi ciri khas dasar bagi tarekatnya. Akibatnya, tarekat Rumi di Barat dikenal sebagai The Whirling Darvish (Para Darwisy yang Berputar). Tarian suci ini dimainkan oleh para Darwish (fuqara’) dalam pertemuan-pertemuan (majlis) sebagai dukungan eksternal terhadap upacara-upacara (ritual mereka).
Sama’ dilembagakan Rumi pertama kali setelah hilangnya gurunya yang sangat dicintai, Syams al-Din Tabrizi. Sejak saat itu Rumi menjadi sangat sensitif terhadap musik, sehingga tempaan palu dari seorang pandai besi saja cukup untuk membuatnya menari dan berpuisi.
Tahapan-tahapan dalam sama’ terdiri dari dua bagian. Pertama, terdiri dari Naat(sebuah puisi yang memuji Nabi Muhammad), improvisasi ney (seruling) atau taksim dan “Lingkaran Sultan Walad”. Kedua, terdiri dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Quran dan doa.[15]
1.      Bagian Pertama
  1. Naat, semacam musik religius. Naat dalam musik mawlawi disusun oleh Buhuriz Musthafa' Itri (1640-1712), tetapi puisinya adalah puisi Rumi.
  2. Taksimadalah sebuah improvisasi terhadap setiap makam atau mode, yaitu konsep penciptaan musik yang menentukan hubungan-hubungan nada, nada awal yang memiliki kontor dan pola-pola musik. Bagian ini merupakan bagian yang sangat kreatif dari upacara Mawlawi.
  3. Lingkaran Sultan Walad, ini disumbangkan kepada upacara oleh putra sulung mawlana, sultan Walad. Selama putaran ini para darwisy yang ikut bagian dalam putaran tari berjalan mengelilingi sang samahane (ruang upacara) tiga kali dan menyapa satu sama lain di depan pos (lokasi tempat pemimpin tekke atau pemimpin upacara berdiri). Dengan cara ini mereka menyampaikan "rahasia" dari yang satu kepada yang lain.
2.      Bagian kedua (empat salam), yaitu :
  1. Salam pertama, melodi panjang, irama yang digunakan biasanya disebut putaran berjalan(Devri Revan), bitnya adalah 14/8.
  2. Salam keduan, pola irama dari salam ini disebut Evfer dan terdiri dari 9/8 bit.
  3. Salam ketiga, dibagi kedalam dua bagian yang meliputi melodi dan irama. Bagian pertama disebut putaran (the cycle) bitnya 28/4 bagian kedua disebut yourk semai dan bitnya 6/8.
  4. Salam keempat, pola irama ini juga efver (9/8), yakni irama lambat dan panjang untuk menurunkan elastasi sehingga sang darwisy bisa konsentrasi kembali. Tiap-tiap salam dihubungkan melalui nyanyian, pada bagian pertama dan kedua seleksi diambil dari Divan-Syams atau mastnawi, pada bagian ketiga puisi mawlawi lain dinyanyikan.
Terkait dengan musik instrumental setelah berakhirnya salam keempat berarti bagian oral selesai “yuruk semai” kedua dalam pola 6/8 sekaligus akhir dari upacara. Dan setelah seleksi instrumental ini terdapat lagi taksim seruling, yang juga kadang dimainkan melalui alat musik petik (senar).
Setelah tahapan musik selesai, seorang hafizh di antara para penyanyi membaca ayat-ayat Alquran. Sama’ terus berlangsung sampai bacaan Alquran dimulai. Ketika hafizh memulai bacaan Alqurannya maka para penari berhenti dan mundur ke pinggir lalu duduk. Setelah selesai, pimpinan sama’ berdiri dan mulai  berdo’a di depan syaikh, dan doa ini biasanya ditujukan untuk kesehatan dan hidup sang Sultan atau para penguasa negara.
Karya-Karya Tarekat Maulawiah 
Ada beberapa karya-karya yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan popularitas Tarekat Maulawiyah, baik itu yang ditulis oleh Rumi maupun para pengikutnya. Berikut adalah bagian dari yang dimaksudkan :
1.      Matsnawi al-Ma’nawi, atau Matsnawi Jalal al-Din Rumi sekaligus merupakan karya utama Rumi. Kitab ini berisi syair panjang sekitar 25.000 untaian bait bersajak dan terbagi ke dalam enam kitab. Karya monumnetal ini menyajikan ajaran-ajaran mistik Rumi dengan indah dan kreatif melalui anekdot, hadits-hadits nabi, dongeng-dongeng serta kutipan-kutipan dari Alquran.
2.      Rumi juga menulis Ghazal (puisi cinta) yang lebih dikenal sebagai Divan-i Syams-i Tabriz(Ode mistik Syams Tabriz). Karya memukau ini dipersembahkan kepada guru tercintanya Syams al-Din Tabriz, dan ditulis untuk mengenangnya. Dalam karya ini Rumi mengekspresikan penghormatannya kepada Syams, yang namanya sering dikutip diakhir setiap bait. Karya ini berisi 2500 ode mistik. Menurut Nasr karya ini mencakup juga beberapa syair yang paling indah dan kaya dalam bahasa Persia, yang membicarakan fungsi pembimbing spiritual dan hubungan antara guru dan murid.
3.      Fihi Ma Fihi, yang telah diterjemahkan menjadi Discourse of Rumi atau “Percakapan Rumi”. Karya prosa ini mencakup ucapan-ucapan Rumi yang ditulis oleh putra sulungnya yang bernama Sultan Walad.
4.      Ruba’iyat, berisi 1600 kuatern orisinal dan al-Maktubat, berisikan 145 surat yang ditujukan kepada para keluarga raja dan bangsawan di Konya.
5.      Manaqib al-‘Arifin (legends of sufis), yang dikarang oleh seorang murid cucu Rumi, Chelibi Emir ‘Arif, yang bernama Syams al-Din Ahmad Aflaki. Karya ini berisi biografi dan anekdot-anekdot Rumi, dan tokoh-tokoh lain yang terkait dengan beliau dan tarekat Maulawiyah. Oleh karena itu Manaqib al-‘Arifin sangat penting sebagai sumber informasi baik bagi kehidupan Rumi dan keluarganya, maupun bagi perkembangan Tarekat Maulawiyah itu sendiri.
Perkembangan Tarekat Maulawiah 
Dalam perjalanan sejarahnya, aliran tarekat ini berhasil menarik perhatian para petinggi di Kesultanan Ottoman. Bahkan di masa inilah Mauwlawiyah mampu menghasilkan sejumlah penyair dan musisi legendaris seperti Sheikh Ghalib, Ismail Ankaravi yang berasal dari Ankara, dan Abdullah Sari. Bahkan ada yang mengatakan masuknya nay atau seruling ke dalam peradaban Eropa adalah berkat merambahnya aliran Mawlawiyah ke daerah “jajahan” Ottoman di Eropa. Dan berkat tersebarnya ajaran-ajaran cinta Rumi ke seluruh dunia sebagaimana yang termaktub dalam syairnya bahwa ”Manusia diciptakan dengan cinta untuk cinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Sang Maha Kasih. Karenanya, yang tak pernah merasakan cinta, tak akan pernah mengetahuinya”.[16]
Salah satu ordo yang berkembang pesat adalah Tarekat Maulawiyah yang bermarkas di Amerika Utara, dan dipimpin oleh Shaikh Kabir Helminski. Bersama isterinya Camille Helminski mereka membentuk organisasi dalam pengajaran spiritual The Treshold Society yang menyedot perhatian ratusan ribu orang. Kabir kemudian ditunjuk menjadi Shaikh (Musryid) oleh almarhum Dr. Celaleddin Celebi dari Turki, pemimpin Tarekat Maulaiyah dan penerus generasi ke 21 dari Jalaluddin Rumi.
Kabir menulis sejumlah buku tasawuf dan menerjemahkan beberapa karya Rumi. Dia orang muslim pertama yang diminta memberikan kuliah tentang spiritualitas di Harvard Divinity School. Kutipannya: Apakah Threshold Society itu? The Threshold Society (Masyarakat Ambang Pintu) adalah sebuah yayasan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk pengembangan spiritual dengan tradisi tarekat Mawlawiyah. Tujuannya, dalam pengertian luas untuk mengajarkan prinsip-prinsip pencapaian pengalaman spiritual. Pelatihan ini terbuka untuk semua orang tanpa membedakan agama dan kepercayaan yang dianut.
Ajarannya bersumber dari prinsip kerohanian yang termaktub dalam Alquran, khususnya seperti yang dianut para sufi besar semacam Bahauddin Naqshaband, Muhyiddin Ibn Arabi, dan yang terpenting baginya adalah Jalaluddin Rumi. Ketika kemanusiaan digerus oleh benturan berbagai kebudayaan, krisis ekologi, dan perubahan sosial yang sangat cepat, kelompok ingin mempromosikan kebenaran cinta dan pengetahuan Yang Mahakuasa melalui pengalaman langsung dan personal.
Untuk mencapai tujuan ini, digunakanlah beberapa ungkapan dan prinsip-prinsip inti dalam pengembangan spiritual, mengakui dan mengembangkan kemitraan sejati antara laki-laki dan perempuan, mengakui kemenyatuan dan kesalingtergantungan semua manusia dan semua makhluk hidup. Selain dari pada itu juga dikembangkan ekspresi kontemporer dari tradisi tasawuf klasik, dalam kata artian ialah menciptakan format yang memungkinkan individu-individu dan kelompok-kelompok untuk menjadi matang serta menyerap kenikmatan tasawuf, dan akhirnya memberikan sumbangan nyata bagi kebudayaan melalui seni, musik, dan sastra.
Manusia, termasuk orang Amerika, memiliki kebutuhan untuk bermasyarakat, khususnya masyarakat yang berbagi nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai sufistik sangat penting untuk memperbaiki perilaku masyarakat. Adab ditekankan secara khusus dalam tradisi Mawlawiyah. Bagian penting dari pendidikan spiritual adalah mengembangkan kapasitas masyarakat untuk kemitraan. Dan komunitas pecinta Tuhan adalah wahana untuk mengembangkan kapasitas ini.
Tarekat Mawlawiyah mempunyai upacara yang indah, yang disebut Sama', yang terdiri dari ekspresi ibadah dan dalam waktu yang sama mencakup sebuah tradisi upacara dan musik spiritual. Di kota-kota besar Amerika Utara, upacara ini menjadi salah satu peristiwa kebudayaan yang paling populer. Banyak pengamat yang memuji getaran spiritualitas yang dirasakan setelah menyaksikan upacara itu.
Pengakuan salah seorang dari team ini bahwa suatu waktu kami diundang ke acara pertemuan antar iman di Katedral Nasional Washington, tempat ibadat Presiden Amerika Serikat. Ada sekitar 2.000 orang non-muslim yang ikut menyenandungkan zikir dan menyimak la ilaaha illallah begitu sejumlah darwis Mawlawiyah Amerika berpusar di panggung. Salah satu uskup Washington mengatakan bahwa pandangannya tentang spiritualitas semakin kaya malam itu![17]

Kesimpulan 
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berkut :
1.    Tarekat Maulawiyah adalah tarekat yang didirikan oleh Jalaluddin Rumi di Konya setelah seorang darwisy yang menjadi guru utamanya meninggal.
2.      Sistem pemahaman yang diusung oleh tarekat Maulawiyah ini bernuansa integral yang kemudian terakhir diistilahkan dengan triologi; melihat keterikatan secara substansial antara Tuhan, manusia dan alam semesta.
3.    Ciri utama yang sangat menonjol dari aliran tarekat ini ialah praktek zikir yang dilakukan dengan cara menari untuk memperoleh kefanaan spiritual.
4.  Rumi telah menghasilkan karya monumental yang sekaligus sangat bermanfaat bagi semua orang, diantaranya ialah : Mastnawi al-Ma’nawi, atau Mastnawighazal (puisi cinta) yang lebih dikenal sebagai Divan-i Syams-i Tabriz (Ode mistik Syams Tabriz), Karya prosa yang berjudul Fihi Ma Fihi, yang telah diterjemahkan menjadi Discourse of Rumi atau “percakapan Rumi”, Ruba’iyat, yang berisi 1600 kuatern orisinal dan al-MaktubatManaqibal-‘Arifin (legends of sufis).
5.   Tarekat maulawiyah ini lebih pesat berkembang di Amerika, sedangkan di Indonesia tarekat ini belum begitu buming baik secara intelektualitas dan terlebih lagi praktisi.

DAFTAR PUSTAKA

Afifi, Abu al-Ala’. Fii Tasawuf al-Islam wa Tarikhukhu. Kairo : Matba’ah lajnah at-Ta’lif wa al-Nasyr, 1388 H.

Banani, Amin. Kidung Rumi: Puisi dan Mistisisme dalam Islam, Surabaya : Risalah Gusti, 200.

Chittick, William. The Sufi Doctrine of Rumi: An Introduction, Teheran : Aryamehr University Press, 1974.

Google, blogberita.net/2008/06/16/fanatiklah-pada-cinta-bukan-agama, diakses pada tanggal 12 Mei 2011.

Hartono, Ahmad Jaiz.  Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan. Cet. I; Solo : Wacana Ilmiah Press, 2006.

Iqbal, Muhammad. The Development of Metaphysic in Persia, London: Luzac & Co. Ltd., 1908.

Labib, Muhsin. Mengurai Tasawuf Irfan dan Kebatinan. Cet. I; Jakarta : Ikapi, 2004.

Kartanegara, Mulyadi. Jalal al-Din Rumi : Guru Sufi, Penyair Agung, Cet.I; Jakarta : Teraju, 2004.

Kartanegara, MulyadiPanorama Filsafat Islam; Menembus Batas Waktu, Cet. II; Bandung : Mizan, 2005.

Mulyati, Sri. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Cet. I;Jakarta: Kencana, 2004.

Muthahari, Murtahda. Menapak Jalan Spiritual. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2006.

Nassr, Sayyed Hoosein, Islamic Spirituality: Manifestations. terj. Tim Penerj. Mizan,Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam : Manifestasi, Cet. I; Bandung : Mizan, 2003.

www. majalah.tempointeraktif.com, diakses pada tanggal 12 Mei 2011.

www. majalah.tempointeraktif.com, diakses pada tanggal 12 Mei 2011.


[1] William Chittick, The Sufi Doctrine of Rumi: An Introduction, (Teheran : Aryamehr University Press, 1974), h. 10. Lihat juga Sayyid Hossein Nasr yang menyatakan bahwa Tarekat Maulawiyah memainkan peranan besar dalam sejarah kekaisaran Utsmaniyyah secara spiritual, kultural, dan politik. Islamic Spirituality: Manifestations. terj. Tim Penerj. Mizan, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, (Cet. I Bandung : Mizan, 2003), h. 151-152.
[2] Sri Mulyati, Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 321.
[3] Ahmad Jaiz Hatono,  Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan. (Cet. I; Solo : Wacana Ilmiah Press, 2006), h. 24.
[4] Sri Muliyati, Op.cit. h. 324.
[5] Google, blogberita.net/2008/06/16/fanatiklah-pada-cinta-bukan-agama, diakses pada tanggal 12 Mei 2011.
[6] www. majalah.tempointeraktif.com, diakses pada tanggal 12 Mei 2011.
[7] Amin Banani (ed.), Kidung Rumi: Puisi dan Mistisisme dalam Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 2001), h. 6.
[8] Sri Muliyani, Op.cit., h. 326.
[9] Muliadi Karta Negara, Jalal al-Din Rumi : Guru Sufi, Penyair Agung, (Cet.I; Jakarta : Teraju, 2004), h. 27. dan  QS. 57 : 3.
[10] Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysic in Persia, (London: Luzac & Co. Ltd., 1908), h. 113.
[11] Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam; Menembus Batas Waktu, (Cet. II; Bandung : Mizan, 2005), h. 26.
[12]Sri Mulyani, Op.cit., h. 328.
[13] Mulayadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam; Menembus Batas Waktu., Op.cit., h.27.
[14] Ibid., h. 28.
[15] Sri Mulyati., Op.cit., h. 343-344.
[16] Risensi bacaan penulis dari Koran Tempo 27 Agustus 2007 pada bagian Blog Berita oleh Qaris Tajudin.
[17] www. majalah.tempointeraktif.com, diakses pada tanggal 12 Mei 2011.