Monday 14 August 2017

Hadrotusy Syekh Romo KH. Ahamad Asrori al-Ishaqi ra. berfatwa

Hadrotusy Syekh Romo KH. Ahamad Asrori al-Ishaqi ra. berkata dalam suatu fatwanya.
Beliau berkata: “Buah yang dapat diperoleh dari hasil pelaksanaan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah, hati seorang hamba akan mendapatkan futuh dari-Nya. Yakni terbukanya matahati untuk menerima hidayah azaliyah. Sebagai terbiyah yang didatangkan secara bertahap sampai tujuh tahap. Dengan futuh tersebut seorang hamba berpotensi mendapatkan “ma’rifatullah” dan mencintai-Nya. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Terhadap orang yang beribadah dengan bersungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Allah, sebagai buah dzikir yang mereka lakukan itu, tahap pertama Allah akan membuka empat pintu dzikir dalam hatinya. Empat pintu dzikir tersebut sebagai berikut:
· Pintu pertama, lesannya dimudahkan untuk berdzikir kepada Allah meski dengan hati yang masih dalam keadaan lupa kepada-Nya
· Pintu kedua, lesannya berdzikir dengan hati yang sudah mulai ingat.
· Pintu ketiga, lesannya berdzikir dengan hati yang hadir di hadapan Allah.
· Pintu keempat, lesannya berdzikir dengan hati yang lupa kepada selain yang didzikiri.

*) Merupakan empat tahap terbukanya pintu matahati(futuh) supaya seorang salik (berjalan di jalan Allah atau berthoriqoh) dapat wushul kepada Allah Ta’ala sehingga dapat merasakan kenikmatan berdzikir.
Empat tahap tersebut harus mampu mereka selesaikan sampai mereka benarbenar dapat merasakan kenikmatan dalam “bermujalasah” (bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala). Dzikir yang dilakukan itu seperti menu makanan yang harus dimakan setiap hari, setelah hati mereka mampu menikmati kenikmatannya, maka dzikir-dzikir yang harus dilakukan tersebut—sebagai kewajiban pribadi yang sudah dibai’ati di hadapan guru mursyidnya—tidak lagi menjadi beban hidup yang harus ditanggung, tapi malah menjadi kebutuhan yang sudah tidak dapat ditinggalkan.
Hal tersebut menunjukan, karena hati seorang hamba telah wushul kepada Tuhannya sehingga matahatinya mampu bermusyahadah kepada- Nya. Dia melihat dan menyaksikan keelokan qodho’ dan qodar-Nya, seperti orang yang sedang kasmaran duduk di sisi kekasihnya, maka kenikmatan dalam kebersamaan itu mampu mengalahkan kenikmatan lain yang ada di alam sekitarnya.
2. Ketika seorang salik itu sudah dapat merasakan keni’matan berdzikir, maka dibuka baginya pintu kedekatan dengan Allah Ta’ala. *) Dengan terbukanya pintu kedekatan itu, maka dimanapun berada seorang salik akan merasa berada di sisi-Nya. Berada dalam perlindungan, pemeliharaan dan pertolongan-Nya, sehingga
kenikmatan-kenikmatan hidup yang selama ini terhijab oleh ketamakan hati dan pengakuan hawa nafsu, setelah matahati itu menjadi cemerlang, anugerah-anugerah ilahi itu menjadi tampak terang di pelupuk mata. Dengan itu menjadikan hatinya merasa malu kepada Allah Ta’ala, betapa selama ini dia belum pernah mensyukurinya.
Hasilnya, sejak itu hidupnya menjadi penuh kenikmatan dan kedamaian, tidak merasa ada yang kurang suatu apapun lagi sehingga mampu menerbitkan rasa syukur yang sesungguhnya. Setelah kesyukuran itu mampu menjiwai prilaku dan karakter kehidupan, maka Allah akan menurunkan tambahan kenikmatan lagi, sehingga di dalam menempuh kehidupan selanjutnya, mereka tidak merasa takut dan khawatir lagi untuk selamalamanya. Itulah ilmu yakin yang didapatkan dari buah ibadah yang tidak mungkin bisa didapatkan melalui proses belajar mengajar. Ilmu yakin itu adalah ilmu yang maha luas, seperti samudera tidak bertepi, dan dari situlah kemudian mengalir aliran ilmu laduni.
3. Kemudian diangkat kepada maqom kerinduan dengan Allah.
*) Setelah hijab-hijab yang menyelimuti matahati menjadi sirna, sehingga hati mampu merasakan setiap kenikmatan yang ada, terlebih disaat sangat salik itu sedang mengadakan pendekatan (taqorrub) dengan ibadah dan mujahadah, maka timbullah rasa rindu kepada Allah Ta’ala. Rindu untuk selalu mendekat ke hariba’an-Nya. Hasilnya, dalam keadaan yang bagaimana dan dimanapun berada, kecemerlangan hati itu selalu dijaganya. Mereka takut kalau-kalau kejernihan itu menjadi keruh kembali, sehingga apapun yang dilakukan, baik ibadah vertikal maupun horizontal dilaksakanannya semata-mata untuk menjaga hati itu supaya tidak menjadi keruh lagi. Allah menggambarkan keadaan itu dengan firman-Nya:
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. QS.an-Nur.24/37.
4. Lalu seorang salik didudukkan diatas kursi-kursi ketauhidan. Artinya, hatinya mampu bertauhid kepada Allah Ta’ala .
· Pertama : Bertauhid didalam tujuan (tauhiidul qoshdi).
· Kedua : Bertauhid didalam perbuatan (tauhiidul fi’li)
· Ketiga : Bertauhid didalam pemilikan (tauhiidul milki).
· Keempat: Bertauhid didalam kejadian (tauhiidul wujud).
*) Dengan terbukanya empat tahap pintu tauhid tersbut, menjadikan seorang hamba dapat terhindar dari perbuatan syirik, baik syirik di dalam tujuan amal, didalam amal perbuatan, didalam hak pemilikan maupun syirik didalam wujud. Dengan itu menjadikan seorang salik itu mampu tidak takut dan tidak berharap lagi kecuali hanya kepada Allah Ta’ala. Itulah kekuatan aqidah yang tidak cukup hanya dibangun dengan penguasaan ilmu pengetahuan saja, namun juga harus dengan pelaksanaan amal ibadah yang istiqomah. Kalau orang hanya mengerti tentang tauhid secara teori saja, bukan mendapatkan kekuatan tauhid yang dibangun melalui dzikir dan wirid yang istiqomah, maka tauhid itu sering kali hanya dominan dilahirkan dengan ucapan di bibir saja, bahkan malah hanya diaktualisasikan dengan mensyirikkan dan membid’ahkan orang lain. Demikianlah yang banyak dilakukan oleh pendatang baru di komunitas masyarakat yang
heterogen. Layaknya seperti maling teriak maling, karena tanpa terasa sesunggunya mereka sendiri yang suka berbuat syirik dan bid’ah. Stateman yang mereka lontarkan serngkali meresahkan umat dan perpecahan masyarakat dimana-mana. Di komplek-komplek perumahan yang masyarakatnya majemuk. Sebelum mereka datang, aktifitas keagamaan di tengah masyarakat yang heterogen itu berjalan dengan damai. Namun setelah mereka datang, dengan mengatasnamakan amal ma’ruf nahi munkar, mereka malah memporakporandakan kedamaian tersebut dengan statemen “syirik dan bid’ah” yang mereka budayakan. Hal tersebut ternyata sebagai ciri khas yang paten akan keberadaan mereka di mana-mana. Seperti tentara-tentara setan yang bertugas mengadu domba manusia, mereka bisanya hanya menyalahkan kebiasaan yang dilakukan masyarakat setempat yang jelas-jelas telah menunjukkan hasil yang positif. Yaitu kerukunan dalam pergaulan, karena masyarakat telah terbiasa menerima perbedaan yang ada. Namun setelah mereka datang, masyarakat malah menjadi bingung dan terpecah belah. Mereka mengatakan yang demikian itu amar ma’ruf nahi mungkar, tapi ternyata hasilnya justru “kemungkaran”, yakni menjadikan kekacauan dan perpecahan yang berkepanjangan ?. Hal itu bisa terjadi, karena sejatinya tauhid mereka hanya di bibir saja, sedang hati mereka penuh dengan syirik dan kemungkaran telah mampu dibuktikan sendiri oleh hasil kinerja mereka di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya, sarang mereka justru di masjid-masjid yang dibangun oleh jerih payah masyarakat yang kemudian mampu dikuasai oleh keserakahan hati yang dibungkus dengan managemen secara professional dan sistematis. Pendatang baru itu mampu melengserkan kepengurusan terdahulu yang notabene terdiri dari masyarakat tardisional
dan awam, setelah itu mereka mengadakan gerakan sapu bersih terhadap amal ibadah yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat yang mereka anggap bid’ah dan syirik tersebut. Akibatnya, keresahan dan perpecahan terjadi dalam masyarakat, demikian fenomena telah berbicara dimana-mana.
5. Setelah tauhid yang ada dalam hati sang salik semakin mapan, kemudian hijab-hijab hatinya diangkat dan dimasukkan ke dalam pintu Wahdaniyat.
*) Kekuatan suluk(mistikisme) yang mampu diaktualisasikan dalam pelaksanaan dzikir dan wirid istiqomah yang didasari tauhid yang hakiki, menjadikan hati seorang hamba fana di hadapan Tuhannya. Nuraninya menyatu di dalam rahasia ke-Esaan-Nya. Seperti segelas air susu ketika dituangkan di tengah samudera, maka air campur susu itu seketika menjadi air samudera. Demikianlah, ketika hati manusia yang telah tercemari kotoran basyariyah itu ditempa dengan pelaksanaan suluk yang terkendali, akhirnya keadaan manusia kembali kepada fithrahnya. Itu bisa terjadi, karena sejatinya asal mula air susu dan air samudera itu memang terlahir dari benda yang sama. Seandainya yang satu dari minyak dan satunya air, meski dicampur dengan cara yang bagaimanapun keduanya pasti tidak dapat bersatu selama-lamanya. Percontohan antara air dan minyak itu ibarat hati orang beriman dan hati orang kafir. Meski kadang-kadang mereka mampu menunjukkan penampilan lahir yang sama, sama-sama melaksanakan ibadah di bawah satu atap masjid yang sama, kehidupan mereka ternyata tidak mampu menunjukkan sikap persaudaraan yang hakiki, bahkan selalu saling bermusuhan dan sikut-sikutan tanpa ada kesudahan.
6. Setelah yang asalnya berbeda itu telah mampu kembali ke asalnya, kembali ke Haribaan-Nya di dunia fana, selanjutnya dibuka penutup-penutup Keagungan dan Kebesaran Allah yang selama ini menutupi sorot matahatinya. Ketika matahati seorang hamba yang tembus pandang itu selalu melihat Keagungan dan Kebesaran Tuhannya maka jadilah hati itu menjadi fana dengan dirinya sendiri.
7. Selanjutnya, Allah akan memberikan penjagaan dan pemeliharaan secara berkesinambungan kepadanya. Adapun pertama kali penjagaan dan pemeliharaan yang akan diberikan kepadanya ialah, mereka akan dijaga dan dipelihara dari pengakuan nafsunya sendiri. Dengan penjagaan tersebut maka jadilah ia sebagai seorang yang telah mendapatkan Walayah atau waliyullah. (dikutip dari pengajian rutin minggu ke 2 yang diasuh Harotusy Syekh Romo KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi ra.)
*) Tujuh tahapan futuh tersebut merupakan tahapan terbukanya matahati seorang hamba
untuk dapat bermusyahadah dan berma’rifat kepada Allah Ta’ala. Tahapan itu harus dicapai melalui suluk(meditasi secara islami). Untuk yang demikian itu, seorang hamba harus menjalani jalan ibadah (thoriqot) yang terbimbing oleh guru ahlinya(guru mursyid yang suci lagi mulia). Manakala jalan ibadah itu tidak ada yang membimbing, maka pembimbingnya adalah setan Jin, sehingga amal ibadah itu bukan menghasilkan ma’rifatullah (ilmu laduni), tapi boleh jadi kelebihan-kelebihan pribadi yang sifatnya duniawi hingga malah mendorong manusia terperangkap kepada tipu daya setan Jin yang terkutuk. Akibatnya, hasil akhir mujahadah dan riyadhoh yang dilakukan itu hanya menjadikan para salik menjadi dukun dan paranormal yang cenderung berbuat syirik. Sombong dan takabbur karena merasa mempunyai kelebihan melebihi orang lain. Terlebih ketika dukun dan paranormal itu terlahir dari lulusan pesantren, orang yang pandai membaca kitab kuning dan berpidato, maka orang awam menilai mereka itu dikira gambaran seorang Kyai yang ideal. Kyai yang mempunyai karomah dan sakti mandraguna. Sehingga para awam tidak ragu lagi mengikuti praktek yang mereka lakukan dalam mencarikan jalan keluar dari problem kehidupan yang sedang melilit.
Mereka tidak berhenti mengikuti kecuali ketika para awam itu telah habis-habisan terpelosok di dalam jebakan tipudaya. Inilah awal kehancuran—bagi orang yang senang
beribadah dengan tanpa bimbingan seorang guru ahlinya—yang tidak mudah dapat disadari kecuali setelah mereka benar-benar hancur sama sekali. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari tipudaya hawa nafsu dan setan yang terkutuk. Oleh karena itu, tidak cukup hanya ilmu saja— yang didapatkan dari membaca buku dan kitab— kemudian orang itu berangkat untuk berjalan di jalan Allah dalam rangka mengamalkan ilmu tersebut.

No comments:

Post a Comment