Tuesday 15 August 2017

“SUWUNG” : KONSEP PROBLEM SOLVING KAUM SUFI SUKU JAWA DI KOTA MALANG

“SUWUNG” : KONSEP PROBLEM SOLVING KAUM SUFI SUKU JAWA DI KOTA MALANG

Ninik Setiyowati, S.Psi, M.Psi
Dosen Psikologi Universitas Negeri Malang


ABSTRAK
“Suwung” merupakan istilah masyarakat Jawa yang menggambarkan rasa hampa akan kesadaran diri dengan lingkungannya. Rasa hampa ini diartikan dengan kondisi kosong yang tidak mempunyai bentuk dan abstrak. Namun dalam masyarakat penganut paham sufi, suwung memiliki makna yang berbeda. Suwung mengandung makna kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri yang berkaitan dengan ketuhanan. Dalam konsep psikologi transpersonal, paham suwung kaum sufi merupakan sebuah pengalaman spiritual yang disebut peak experience. Peak Experience menurut Maslow dijabarkan sebagai suatu kondisi saat seseorang secara mental merasa keluar dari dirinya sendiri (Davis,2001). Sehingga melalui paham suwung ini, manusia dengan sadar dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan secara lebih bijaksana.
M
enurut Maslow, untuk mencapai tahapan aktualisasi diri, manusia perlu untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Oleh karenanya penelitian ini dipisahkan menjadi tiga kelompok subjek penelitian; (1) kelompok penganut paham sufi yang masih belum terpenuhinya kebutuhan dasar hidup, (2) kelompok penganut paham sufi yang memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan perjuangan, (3) kelompok penganut paham sufi yang memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan mudah. Metode yang dilakukan adalah snow ball sampling sampai ketiga kriteria kelompok tersebut terpenuhi. Sedangkan metode keabsahan data dilakukan dengan tiangulasi significant other.
Metode penelitian ini adalah kualitatif fenomenologi dengan proses analisis data menggunakan interaksionis simbolik. Dalam prosesnya, peneliti melakukan wawancara mendalam sampai menemukan data jenuh.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari ketiga kelompok subyek mampu menerima suatu masalah dengan cara mengosongkan diri dan secara hakiki menerima Tuhan dalam kondisi apapun. Keadaan Narimo dan syukur menjadi dasar penyelesaian masalah bagi seluruh subyek. Selain persamaan itu, ada tiga perbedaan pola berpikir dari kelompok subjek penelitian dalam memecahkan suatu masalah. Pertama, manusia memecahkan masalah yang dihadapi dengan kepasrahan. Kedua, menyelesaikan masalah dengan cara berkompromi dengan fakta. Ketiga, menyelesaikan masalah melalui pencarian makna akan hidup.
Penelitian ini memberikan pemahaman bahwa, konsep aktualisasi diri tentang kebutuhan pokok hidup yang disampaikan oleh Maslow tidak berlaku secara heirarki bagi masyarakat yang mempraktekkan paham sufi. Pemaknaan mengenai suwung tidak hanya bisa didapatkan oleh orang yang sudah memenuhi kebutuhan dasar semata. Namun, oleh mereka yang mampu dengan sadar mengendalikan dirinya sendiri.

Key word : penyelesaian masalah, suwung, snow bolling, fenomenologi, interaksionis simbolik, narimo, syukur


LATAR BELAKANG BUDAYA
Di Jawa, ada satu konsep yang dinamakan teosofi. Teosofi adalah paham yang dianut oleh agama Jawa. Teos berarti Tuhan dan sofia berarti cinta. Teosofi adalah ilmu ketuhanan, yang cinta kebijaksanaan (kesempurnaan). Teosofi jawa lebih mengedepankan pencarian kesempurnaan hidup (Endraswara, 2002 hal.23). Sedangkan ketika kita mendalami teosofi, tentu tidak bisa lepas dari akar pengertian katanya. Teosofi dari pengertian bahasa yunani menyebut para penganutnya dengan istilah orang Sufi. Namun di sisi lain, dari pengertian bahasa arab, mengenal kata tasawuf, yang berasal dari beberapa istilah antara lain (1) Shifa, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. (2) Shuf yang artinya bulu binatang. Sebab orang orang yang memasuki tasawuf ini memakai baju dari bulu binatang, mereka benci pakaian yang indah indah atau pakaian “orang dunia” ini. (3) Shuffah yaitu segolongan sahabat nabi yang menyisihkan dirinya di suatu tempat terpencil di samping Masjid Nabi. (4) Shuffanah yang artinya sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasir tanah arab. (Hamka, 2015 hal.1). Penganut tasawuf dari bahasa arab ini juga bergelar Sufis.
Penelitian ini mengangkat konsep sufi yang secara spesifik ada pada masyarakat jawa, yang tidak lepas dari akar bahasanya baik dari pengertian yunani maupun arab. Peneliti merumuskan pengertian Sufi adalah suatu jalan, atau proses yang ditempuh oleh seseorang untuk memahami dan mengimani Tuhan dengan sempurna, melalui lelaku (perbuatan) yang melepaskan diri dari keterkaitan dengan duniawi sehingga bisa mencapai kesucian diri yang sempurna. Para penempuh jalan sufi ini memiliki beragam kekhasan berinduk pada akar budayanya masing masing. Penganut sufi di arab akan berbeda dengan penganut sufi di eropa atau di asia. Di asia-pun, penganut sufi tersebar di seluruh daerah dengan kekhasannya masing masing. Peneliti mengambil latar belakang budaya jawa untuk lebih menspesifikkan pembahasan dari penelitian ini.

Konsep suwung
Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yakni bersatu dengan Tuhannya. Pada jalan tersebut terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui, seperti : tobat, zuhud, sabar, ridho, mahabbah dan ma’rifatullah (mengenal Allah dengan hati nurani). Bila mencapai tahapan ma’rifatullah, maka calon sufi telah mengingkat menjadi sufi (Achmad, 2014. Hal.29). Jalan atau cara yang ditempuh oleh para calon sufi ini mempengaruhinya dalam bertindak, melakukan pengambilan keputusan maupun bagaimana ketika ia mendapati suatu permasalahan yang harus ditemukan solusinya.
Dalam Ajaran Suluk Suksma Lelana (Ronggo Warsito) , pencapaian ma’rifatullah, tertuang dalam empat tahapan, yaitu (1) tahapan Syariat, suatu upaya untuk mempelajari aturan aturan baku dari Tuhan yang diamalkan secara lahir baik kepada Tuhan maupun yang berhubungan dengan sesama manusia. (2) tahapan tarekat, ini adalah jalan sufi yang sudah mulai melakukan olah jasmani dan rohani dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan. Prosesnya harus dilakukan secara terus menerus dan konsisten. (3) Tahapan Hakikat, yaitu fase dimana manusia telah mendapatkan ma’rifat yang sebenarnya. Ketika mencapai keadaan fana atau hilangnya kesadaran diri dan alam sekitarnya, maka manusia mampu membuka tirai yang merintangi dirinya dengan Tuhan. Dengan demikian, manusia telah berhasil mencapai puncak pendakian spiritual sesudah sekian lama menjalani proses tarekat. (4) tahapan Ma’rifat. Ini merupakan bentuk capaian tertingginya. Yaitu ketika manusia mengetahui tentang hakikat ketuhanan. Dalam hal ini , manusia dianggap sebagai makhluk sempurna karena telah mampu mencapai puncak spiritual yakni “Manunggaling kawulo – Gusti”. Kesatuan kosmis yang di dalam masyarakat jawa dilambangkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”(keris menyatu dengan kerangkanya, kerangka menyatu dengan kerisnya. (Achmad, 2014.hal.34).
Dari ke empat tahapan tersebut, Suwung merupakan tahapan ma’rifat, yaitu ketika seseorang sudah berhasil mencapai hakikat ketuhanannya. Awal mula kata“Suwung” merupakan istilah masyarakat Jawa yang menggambarkan rasa hampa akan kesadaran diri dengan lingkungannya. Rasa hampa ini diartikan dengan kondisi kosong yang tidak mempunyai bentuk dan abstrak. Namun dalam masyarakat penganut paham sufi jawa, suwung memiliki makna yang berbeda. Suwung mengandung makna kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri yang berkaitan dengan ketuhanan.
Dalam Serat Wedhatama diterangkan bahwa alam semesta yang dihuni oleh makhluk hidup dibedakan menjadi dua alam yakni alam yang selalu berubah (fana’) dan alam yang tetap (abadi). Konsep mengenai hal tersebut antara lain termuat dalam pupuh pangkur bait ke 14 yang berbunyi :
Sejatine Kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang WidhiBali alaming  nga-SUWUNG,Tan karem karameyanIngkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula mulanira
Mulane wong anom sami.
Artinya:
Sebenarnya yang demikian itu sudah mendapat anugerah Tuhan. Kembali ke alam kosong,
Tidak mabuk keduniawian yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal mula. Demikianlah yang terjadi wahai anak muda
Dari kutipan diatas, dijelaskan bahwa ada alam lain yang disamping yang nyata yang dialami oleh manusia. Alam tersebut dalam Serat Wedhatama disebut sebagai alam suwung. Alam suwung ini digambarkan merupakan tempat asal dan sekaligus tempat kembalinya manusia yang dapat memperoleh karunia Tuhan.
Alam yang dialami oleh manusia sekarang ini disebut pula alam kinaot (pupuh gambuh bait ke 13) yakni alam yang tinggi tingkatannya atau alam yang sangat istimewa indahnya. Ketika hendak mencapai alam suwung, manusia harus berproses. Kesempurnaan hidup sejati merupakan tujuan utama manusia baik ketika masih di dunia, maupun ketika sudah kembali kepada-NYA.
Kebahagiaan hidup sejati didunia ini bukan diukur dari keadaan terpenuhinya kebutuhan materil secara melimpah  tetapi konsep bahagia ini berupa pemenuhan kebutuhan yang wajar, adil dan seimbang bagi keperluan jasmani serta rohaninya Disamping itu  alam suwung pun disebut alam lama maot yang terdapat pada pupuh gambuh bait ke 17 yaitu:

Sayekti luwih perlu,
 Ingaranan pepuntoning laku, Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin,
Sucine lan awas emut, Mring alaming lama maot.
Artinya:
Sebenarnya lebih penting disebut penghabisannya tindakan, Tindakan yang bersangkutan dengan batin, pensuciannya dengan kewaspadaan dan senantiasa ingat Kepada alam yang Maha Besar (yang dapat memuat) Alam kelanggengan.
Alam lama amot (maot) secara harfiah bermakna alam yang dapat memuat dalam waktu yang lama atau dengan perkataan lain langgeng atau abadi. Dapat pula diartikan sebagai alam baka atau alam akhir. Dalam alam akhir inilah kita akan mengalami kehidupan akhirat sebagai lanjutan dari kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang, dan jauh, kehidupan ini akan dialami oleh semua manusia tanpa terkecuali sesudah mati. Kehidupan ini tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, karena diluar jangkauan keilmuwan sehingga untuk memahami realitas kehidupan akhirat harus melalui perenungan yang transenden, yang melintasi batas-batas dimensi fisik, ruang dan waktu yang terbatas.
Melalui pengalaman kehidupan yang dialami, seseorang akhirnya bisa menembus dinding dan pembatas yang berada dalam ruang dan waktu yang bersifat fisik, hakikat kehidupan ini tidak berada pada kepentingan-kepentingan duniawi yang sifatnya sementara. Kesadaran tertinggi ini yang menjadikan seseorang mampu mencapai alam suwung secara total. Dalam prosesnya, “keakuan” dapat di control secara baik sehingga hidup dapat dihayati dengan menjauhkan diri dari kesombongan.
Dalam konsep spiritual dari Maslow, pengalaman spiritual tertinggi yang dicapai seseorang ini dinamakan “peak experience. Pada mulanya, dasar instrinsik, esensi, inti universal dari setiap agama merupakan sesuatu pengalaman pribadi, sendiri, pencerahan personal, wahyu atau pencapaian puncak dari Nabi atau para penglihat (Maslow, 1964). Tetapi kemudian, terlihat bahwa wahyu atau pencerahan yang bersifat mistik ini dapat digolongkan sebagai peak experience, atau ecstasies atau transcendent.
Psikologi transpersonal meneliti berbagai konsep (Walsh & Vaughan.1993). beberapa konsep kunci adalah (1) peak experience, didalamnya meliputi emosi positif yang kuat dan mendalam seperti ecstasies, perasaan damai dan ketenangan, perasaan senada dan selaras dengan alam, kesadaran mendalam yang tidak bisa diterjemahkan dengan kata-kata ((2) self transcendence merupakan suatu keadaan kesadaran dimana perasaan diri berkembang diluar definisi biasa dan image diri dari suatu kepribadian individual. Self transcendence meliputi pengalaman langsung dari hubungan fundamental, hamoni dan menyatu dengan alam. (3) optimal mental health berarti kemampuan coping yang mencukupi dengan tuntutan lingkungan dan merupakan resolusi dari konflik personal (4) spiritual emergency, dalam konsep transpersonal adanya suatu krisis dalam diri seseorang dapat menjadi bagian yang membangkitkan kesehatan dan tidak selalu merupakan bentuk dari psikopatologi (5) developmental spectrum, digambarkan membedakan antara tahapan pre-presonal dari perkembangan diri, sebelum perkembangan perasaan stabil dalam diri, kemudian tahapan personal dimana perkembangan dan perbaikan individu telah berhasil diraih. Tahapan transpersonal didasarkan pada identifikasi dengan keseluruhan bahwa diri lebih tinggi daripada ego individual. (6) meditation. Meditasi ini merupakan metode kunci dari psikologi transpersonal. Meditasi melibatkan fokus pada satu obyek atau perhatian sadarpada seluruh aspek kesadaran (dalam Davis, 2001)
Dalam konsep transpersonal, ketika seseorang menghadapi suatu masalah yang menempatkannya pada suatu krisis spiritual, hal tersebut justru akan menjadikan manusia mampu membangkitkan kondisi kesehatan mental yang sempurna. Hal tersebut terjadi apabila dapat diolah dan diinternalisasi ke dalam hakikat masalah tersebut.
Strategi Pemecahan Masalah
Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut. Beberapa strategi yang sering digunakan adalah:
  1. Algoritma.
Algoritma adalah metode yang selalu menghasilkan suatu solusi yang benar dari setiap penyelesaian masalah (Matlin, 2005). Algoritma merupakan sebuah langkah prosedur yang menjamin kesuksesan jika langkah-langkah prosedur tersebut diikuti dengan benar. Dengan kata lain, algoritma memiliki susunan urutan yang baku dalam menyelesaikan suatu masalah dan berlaku secara umum.
  1. Heuristik
Menurut Matlin (2005) dalam pemecahan masalah, heuristik adalah suatu strategi yang mengabaikan beberapa penjelasan serta hanya menggunakan alternatif yang paling disukai untuk mendapatkan suatu solusi. Bagaimanapun, heuristik tidak menjamin individu akan memecahkan masalah dengan benar.

Menurut Matlin (2005), ada tiga heuristik yang paling sering digunakan yaitu:
  1. Heuristik Hill-Climbing
Salah satu strategi pemecahan masalah yang paling mudah
biasanya disebut dengan heuristik hill-climbing. Heuristik hill-climbing
adalah ketika individu memiliki masalah, maka individu tersebut memilih solusi secara sederhana terhadap alternatif jawaban yang tampak untuk menyelesaikan masalah. (Lovett dalam Matlin, 2005).
Heuristik hill-climbing dapat digunakan ketika individu tidak cukup menemukan informasi mengenai alternatif-alternatif solusi yang dipilih oleh individu tersebut (Dunbar dalam Matlin, 2005). Heuristik hill-climbing digunakan oleh individu ketika:
  1. Memilih solusi yang tampak secara cepat dan sederhana dari masalah yang dihadapi
  2. Apabila solusi pertama dianggap gagal, maka individu memilih solusi berikutnya dari masalah yang dihadapi

  1. Heuristik Means-Ends.
Menurut Matlin (2005), heuristik Means-Ends memiliki dua komponen yaitu:
  1. Individu membagi masalah kedalam sub-sub masalah atau kedalam masalah yang lebih kecil
  2. Individu mencoba untuk mengurangi perbedaan mengenai keadaan awal dengan kondisi tujuan terhadap masing-masing sub masalah Heuristik means-ends tepat karena mengharuskan individu untuk mengidentifikasi tujuan yang diinginkan dan kemudian mencari tahu cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

  1. Pendekatan analogi
Menurut Matlin (2005) ketika individu menyelesaikan masalah dengan menggunakan pendekatan analogi, individu menggunakan solusi yang sama dengan masalah sebelumnya untuk menyelesaikan masalah yang baru. Adapun indikator individu menggunakan pendekatan analogi, antara lain:
  1. Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa terhadap masalah serupa yang ia hadapi.
  1. Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa ketika masalah yang ia hadapi sama atau serupa dengan masalah yang pernah dihadapi oleh orang lain.
Berdasarkan dari beberapa strategi pemecahan masalah yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa strategi pemecahan masalah merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan oleh individu untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan masalahnya, antara lain dengan menggunakan teknik algoritma atau heuristik.

Interaksionis simbolik
            Penelitian ini menggunakan metode interaksionis simbolik. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik menjelaskan kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi social. Tujuan dari semua hal diatas adalah untk memediasi dan menginterpretasi makna dalam masyarakat (Society) dimana individu berada. Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136) menyatakan bahwa makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi dari ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
  1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain
  2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
  3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik ini lah yang peneliti gunakan untuk memetakan subyek penelitian mengenai SUWUN ini. Penekannya ada pada:
  1. Menemukan Pentingnya makna bagi perilaku penganut sufi yang menggunakan konsep suwung dalam penyelesaian masalah.
  2. Menemukan pentingnya konsep mengenai diri sendiri, bagaimana ia bersikap dan seluruh dinamikanya ketika menghadapi suatu masalah.
  3. Menemukan hubungan antara individu yang menganut paham sufis dengan konsep suwung terhadap masyaraat sekitarnya khususnya ketika bertingkah laku dan menempatkan diri.

Model pencapaian alam suwung
Dalam menghadapi permasalahan, manusia dibedakan berdasarkan sudut pandangnya terhadap dunia. Hal ini terbukti bersifat lintas keadaan. Dari sampel penelitian, kelompok penganut paham sufi yang masih belum terpenuhinya kebutuhan dasar hidup, kelompok penganut paham sufi yang memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan perjuangan, kelompok penganut paham sufi yang memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan mudah ternyata tidak terkategori secara berbeda.
Tabel.1.1 kategori sampel berdasarkan sudut pandang terhadap duniawi.
KategoriMelepaskan diri dari seluruh keinginan duniawiMemandang dunia masih secara lekat
Kelompok yang belum mendapatkan kebutuhkan dasar22
Kelompok yang mendapatkan kebutuhan dasar dengan perjuangan21
Kelompok yang dengan mudah telah terpenuhi kebutuhan dasarnya11

Ada 5 orang di dalam kelompok yang memandang dunia sebagai sesuatu yang penting untuk diperjuangkan dan dicapai, 5 orang tersebut terdiri dari 1 orang yang sudah memenuhi kebutuhan dasar, 2 orang yang berhasil memenuhi kebutuhan dasarnya dengan perjuangan dan 2 orang yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya. Sedangkan sisanya, 4 orang berada dalam kategori sudah terlepas dari hasrat kebutuhan duniawi. 2 diantara memang sudah terpenuhi kebutuhannya, 1 orang yang masih berjuang dan 1 orang yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya
Menurut konsep Ronggowarsito, dalam serat wirid hidayat jati tertuang konsep dasar sebagai berikut :
Sejatine ingsun anata malige ana sajroning betal muharram
Iku omah enggoning lalaranganing ingsun
Jumeneng ana dhadhaning adam
Kang ana sajroning dhadha itu ati
Kang ana sajroning ati iku jantung,
Sajronng jantung iku budi,
Sajroning budi iku jimen, iya iku angen angen
Sajroning angen angen iku rahsa,
Sajroning rahsa iku ingsun
Ora ana pangeran among ingsun dat kang angliputi jati

Berdasarkan para penganut sufi di jawa, ajaran rangga warsito adalah pengejawantahan tertulis yang dipergunakan oleh kaum sufi dalam menjalani kehidupannya. Adapun hasil penelitian ini menterjemahkan kalimat diatas sebagai berikut :

Sesungguhnya AKU merajai istana di dalam Betal Muharram. Tuhan yang merajai istana yang di dalamnya terdapat aturan-aturan dan larangan, yang terletak di dada Adam, di dalam dada ada hati, di antara hati ada jantung, di dalam jantung ada budi, di dalam budi ada jinem (yaitu harapan). di dalam harapan ada rahsa, di dalam rahsa ada Aku, tiada Tuhan kecuali Aku, Dzat yang meliputi keadaan hakiki.
Dari sudut pandang ini, dapat di lihat ada tahapan tahapan yang perlu di lalui. Meskipun tertanya dari tahapan itu tidak selalu bersifat runut dan kontinu. Lompatan itu bisa dilakukan oleh orang orang tertentu apabila dia menghadapi permasalahan personal yang berhasil merubah seluruh sudut pandangnya. Dari hasil penelitian untuk semua subyek memiliki pola pencapaian rasa suwung yang sama tetapi tahapannya bervariasi sesuai dengan pengalaman hidup yang dialaminya masing-masing.


Bagan 1. Tahapan dalam pencapaian alam suwung

Dalam bagan ini dapat dilihat bahwa point penting dari perjalanan menuju suwung adalah kondisi awal ketika menghadapi kenyataan. Sudut pandang terhadap sisi dunia di bagi menjadi 2, yaitu :
  1. Lekat : suatu kondisi diri seseorang, ketika memandang dunia penting untuk diperjuangkan, mengharapkan sesuatu yang dicita citakan dapat dicapai dengan baik. Apabila mengalami kegagalan, maka akan mengoreksi diri untuk memperjuangkan kembali mimpi mimpinya.
  2. Lepas : suatu kondisi diri seseorang, ketika memandang dunia akan hadir dan hilang dengan ritme yang harmonis. Menunaikan tugas sebagai manusia, memenuhi kebutuhannya namun tidak membelenggu diri dengan harapan akan tercapainya mimpi mimpi. Hidupnya adalah sekarang dan disini. (right here, right now)

Ada 3 model yang muncul dari proses menuju alam suwung ini ketika menghadapi persoalan dan berusaha memecahkannya. Adapun bagannya adalah sebagai berikut :
Bagan 2. Type 1 Pencapaian Alam Suwung


Dalam type 1 ini, diawali dengan paradigma berpikir bahwa dunia adalah upaya penunaian tugas yang diberikan Tuhan. Mereka yang ada di tipe ini tidak melibatkan diri untuk memperjuangkan cita cita, apalagi disertai ambisi untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari orang lain. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu persoalan yang sulit, maka mereka cenderung menunjukkan kepasrahan dan menerima dengan lapang dada.
Bagan. 3. Type 2 Pencapaian Alam Suwung

Dalam Type 2, dimulai dari sudut pandang bahwa dunia penting untuk diperjuangkan, mengharapkan sesuatu yang dicita citakan dapat dicapai dengan baik. Di titik ini, seseorang masih berhubungan erat dengan mimpi dan cita citanya. Sehingga pada saat mengalami permasalahan, masih dalam kondisi tidak seimbang. Usaha nyata yang dilakukan untuk mencapai cita citanya cenderung menghalalkan segala cara. Namun bukan berarti seseorang yang berada dalam kondisi seperti ini tidak bisa mencapai rasa suwung. Suatu keadaan yang istimewa (dalam hal ini berupa cobaan berat) akan membawanya mencapai tahap kesadasaran. Kesadaran ini akan membawanya menuju ke alam suwung.


Bagan 4. Type 3 Alur pencapaian rasa suwung

Type 3 ini, sama seperti type 2 dalam menghadapi suatu persoalan, masih condong ke dunia. Namun ada satu titik saat harapannya juga telah terpenuhi, dan ada kejadian istimewa yang menimpanya. Bisa berupa penglihatan yang kurang mengenakkan baik tentang orang lain maupun lingkungan dan mampu menyentuh hidupnya, maka ia mampu terlepas dari sisi duniawinya. Akhirnya berhasil mencapai suwung.

Bagan. 5 keseluruhan pencapaian alam suwung

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari ketiga kelompok subyek mampu menerima suatu masalah dengan cara mengosongkan diri dan secara hakiki menerima Tuhan dalam kondisi apapun. Keadaan Narimo dan syukur menjadi dasar penyelesaian masalah bagi seluruh subyek..





Model penyelesaian masalah
Tahapan untuk mencapai suwung pada masing masing individu berbeda dan tidak terkategori berdasarkan klasifikasi subyek. Namun ketika dihadapkan pada suatu persoalan yang rumit dalam hidupnya, mereka terkategori sesuai dengan klasifikasinya.
Adapun kelompok subyek 1 yang masih belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya memiliki alur penyelesaian masalahnya adalah sebagai berikut :
Bagan 6. Alur penyelesaian masalah type 1

Kelompok ini berusaha dengan beberapa cara yang disukainya dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan dalam bentuk kepasrahan. Ketika subyek sudah sampai di titik pasrah, dia mampu berterimakasih kepada alam dan seluruh isinya. Apapun yang menimpanya bukan lagi menjadi beban. Mereka yang sudah pasrah tidak tergantung apakah masalahnya berhasil diselesaikan atau tidak.
Adapun kelompok subyek 2 yang mampu memenuhi kebutuhannya namun masih perlu berjuang untuk mencapainya. Alur penyelesaian masalahnya adalah sebagai berikut :
Bagan 7. Alur penyelesaian masalah type 2

Kelompok ini berusaha melalukan cara yang sama ketika mengalami suatu permasalahan, baru setelah tidak berhasil atau tidak optimal, ia akan mengubah langkah penyelesaian masalahnya. Baik ketika ia berhasil 100% mengatasi masalahnya maupun tidak sama sekali, pencapaian selanjutnya adalah menemukan jalan kompromi. Hal ini diambil karena kesadaran bahwa sebagian dari persoalan yang dihadapi justru tidak selesai ketika seseorang mempertahankan keinginan atau prinsip hidupnya secara mutlak. Dengan melakukan kompromi terhadap hal hal yang tidak berhasil dicapainya, mereka akan mampu melangkah pada penyelesaian langkah baru.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang sudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun bagan penyelesaian masalahnya adalah sebagai berikut :

Bagan 8. Alur penyelesaian masalah type 3

Golongan yang sudah mencapai kesejahteraan ini menghadapi masalah dengan mengusahakan berbagai cara yang dilakukan seoptimal mungkin. Usaha usaha ini ditopang oleh fasilitas yang memadai dan cenderung memudahkan. Namun ketika masalah yang dihadapi tidak kunjung selesai, maka mereka akan bertanya pada diri mereka sendiri dan melakukan pencarian makna. Usaha inilah yang akhirnya membawa mereka pada rasa kebersyukuran. Rasa bersyukur ini menyebabkan mereka memahami kehendak Tuhan dan menerimanya dengan sepenuh hati.

Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari ketiga kelompok subyek mampu menerima suatu masalah dengan cara mengosongkan diri dan secara hakiki menerima Tuhan dalam kondisi apapun. Keadaan Narimo dan syukur menjadi dasar penyelesaian masalah bagi seluruh subyek. Dalam pencapaian suwung, ada 3 type pencapaian yang pada masing masing tipe tersebut tidak terkumpul berdasarkan kategori subyek penelitian. Type 1 adalah mereka memandang dunia terlepas dari dirinya. Type ini secara alami lebih mudah mencapai tahapan suwung. Type kedua adalah mereka yang masih terikat dengan duniawi. Namun ketika mereka sudah melakukan usaha nyata untuk mencapai suatu tujuannya, ada kejadian istimewa yang menjadikan mereka mengubah sudut pandanganya terhadap dunia. Sehingga mengubah harapan hidup dan membawanya mencapai tahap suwung. Type ke 3 adalah type paling erat kelekatannya dengan dunia. Ia berperilaku untuk mencapai tujuannya, ia juga sudah membangun harapan yang sejalan dengan usahanya. Namun karena adanya suatu kejadian istimewa yang menimpanya, ia akhirnya melepaskan diri dari pikiran duniawi dan mencapai suwung. Selain temuan diatas, ada tiga perbedaan pola berpikir dari kelompok subjek penelitian dalam memecahkan suatu masalah. Pertama, manusia memecahkan masalah yang dihadapi dengan kepasrahan. Kedua, menyelesaikan masalah dengan cara berkompromi dengan fakta. Ketiga, menyelesaikan masalah melalui pencarian makna akan hidup.
Penelitian ini memberikan pemahaman bahwa, konsep aktualisasi diri tentang kebutuhan pokok hidup yang disampaikan oleh Maslow tidak berlaku secara heirarki bagi masyarakat yang mempraktekkan paham sufi. Pemaknaan mengenai suwung tidak hanya bisa didapatkan oleh orang yang sudah memenuhi kebutuhan dasar semata. Namun, oleh mereka yang mampu dengan sadar mengendalikan dirinya sendiri. Meskipun demikian ada pola yang sama dalam penyelesaian masalah pada subyek dalam kategori yang sama.

Saran
Selama ini peneliti fokus kepada individu, apabila pengembangan penelitian ini dikembangkan dengan menekankan kajian kelompok sufi aliran tertentu dimungkinkan akan memberikan pola yang berbeda.


DAFTAR PUSTAKA
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication StudyA
Biographical Approach
. New York : The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Introducing communication theory :analysis and application 3rd ed. Jakarta : Salemba Humanika

Achmad, Sri wintala. 2008. KITAB AJARAN RANGGAWARSITA. Yogyakarta : Araska
HAMKA, Prof. Dr,. 2015. TASAWUF MODERN. , Jakarta: REPUBLIKA press

Robert Frager, Ph.D, 2014. PSIKOLOGI SUFI. Jakarta: penerbit ZAMAN

Endraswara , Prof. DR. Suwardi, M.Hum,. 2015. AGAMA JAWA.Yogyakarta: NARASI

John Davis, PhD. Departemen of Psychology SOME BASIC CONCEPT OF TRANSPERSONAL PSYCHOLOGY part four

Fattah Hanurawan, KAJIAN PSIKOLOGI TRANSPERSONAL TERHADAP TRADISI SUFISME ISLAM DI INDONESIA, journal psikologika no.8 tahun iv 1999, hal. 15 -22

Abraham maslow, religion, values and peak experiences, Kappa delta pi. 1964

Journal eupsychian management, Abraham maslow, 1965, Richard D. IRWIN INC and THE Dorsey press. Homewood, Illionis 1-33

No comments:

Post a Comment