Saturday 26 August 2017

Meniti Jalan Sufi di Tengah Kegalauan Zaman

Meniti Jalan Sufi di Tengah Kegalauan Zaman

Sufi Gaul: Sebuah Pendahuluan
Ketika era teknologi informasi semakin mapan seperti saat ini, barangkali tidak sedikit orang yang memandang pesimis terhadap upaya mengambil jalan kesufian sebagai jalan hidup. Pesimisme tersebut memang beralasan, mengingat era teknologi saat ini yang gemerlap, hedonis, cepat berubah dan bising, akan menjadi tantangan yang super sulit bagi jalan kesufian yang mistik, sepi, dan musuh hedonisme. Orang tampak akan lebih suka bersantai di mall dari pada bersemedi di sebuah tempat yang pengap.
Dalam sejarah mistik Islam (Islamic mysticism), seorang Sufi adalah dia yang menempuh (suluk) jalan Allah, berakhlak tinggi, berjiwa cemerlang dan bijaksana.[1] Golongan ini, berdasarkan sejarah yang ada, selalu tampak sebagai ahli ibadah, suka menyepi dan bersemedi di tempat-tempat terpencil, serta menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi yang dipandang akan membuat mereka jauh dengan Sang Kekasih, yakni Allah.[2] Hampir tidak ada di antara mereka yang eksis di jalanan, jarang bergaul dengan orang-orang, memakai jubah (baju besar dan longgar), memakai sorban dan atribut lain yang, dalam pandangan orang awam sekarang, sangat tidak gaul.
Saat ini, diakui atau tidak, seorang sufi dipandang sebagai tidak gaul. Sebutan ‘tidak gaul’ tentu tidak hanya diukur dengan keadaan mereka yang jarang bergaul dengan orang-orang, melainkan karena beberapa aspek yang lain pula, seperti pakaian, makanan, cara berbahasa dan isi pembicaraannya yang tidak jauh dari urusan ukhrawi. Meski seorang sufi, sebagaimana diakui, adalah mulia dan disayang Allah, tapi ketika ada seseorang bercita-cita menjadi Sufi, hal tersebut akan kedengaran aneh bahkan sangat lucu. Hal ini memang sangat dilematis: di satu sisi kita mengamini bahwa menjadi Sufi adalah sangat mulia, tapi di sisi lain kita harus jujur bahwa abad XXI yang gemerlap dan Wow! ini, meski seringkali bikin hati galau, sangat sayang untuk dilewatkan.
Akhirnya, tampak ajaran-ajaran sufi atau sufisme bertentangan dengan semangat zaman modern, dan tak ada tempat (no way) bagi seorang Sufi di zaman modern ini. Kata-kata sufi maupun sufisme kemudian tampil dengan wajah yang menyeramkan. Pertanyaannya, benarkah demikian? Siapa sebenarnya Sufi itu dan apa semangatnya? Tak adakah celah bagi seorang Sufi untuk ikut andil meramaikan zaman yang bising ini, menjadi Sufi gaul dan keren? Bukankah kegalauan manusia-manusia modern ini sangat menunggu kehadiran dan sentuhan seorang Sufi dan semangatnya yang lembut dan menenangkan?
Tasawwuf dan Sesuatu yang Berhubungan dengannya
Sebagian besar ulama sepakat bahwa secara etimologi, tasawwuf berasal dari kata shuf, berarti kain yang terbuat dari wol (bulu domba) yang kasar, yang digunakan orang yang meniti jalan tasawwuf, yang melambangkan kesederhanaan dan kemiskinan duniawi.[3] Secara terminologis, tasawwuf adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kebaikan dan keburukan jiwa, serta cara bagaimana untuk menghilangkan keburukan tersebut dan menggantinya dengan sifat-sifat yang terpuji, demi mencapai keridhaan Allah.[4] Sejatinya, Sufi berarti orang yang ber-tasawwuf (secara sungguh-sungguh), dan kata ‘Sufi’ merupakan derivasi dari kata tasawwuf tersebut.
Meski secara legal-formal tasawwuf tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad saw., tapi substansinya, yaitu upaya-upaya penyujian jiwa (tazkiyat al-nafs) telah ada dan dipraktikkan pada masa nabi.[5] Tasawwuf sebaga suatu bidang ilmu baru muncul dan dipelajari pada abad ke-9 M, yang setidaknya dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, sebagai pengimbang terhadap kemajuan ilmu fiqh (eksoterik/lahir) yang maju pesat pada masa itu. Kedua, sebagai reaksi terhadap gejala kehidupan lahiriah yang menyimpang dari batas kewajaran.[6]
Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam meniti jalan tasawwuf, di antaranya yaitu maqamat. Dalam terminologi tasawwuf, maqamat adalah kedudukan hamba di hadapan Allah berdasarkan apa yang telah ia usahakan, baik melalui riyadhah maupun ibadah yang sungguh-sungguh. Selain itu, ia juga berarti fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang Sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.[7] Setidaknya, maqamat menurut al-Ghazali ada delapan tingkat: yakni taubat (memohon ampun segala dosa); zuhud (meninggalkan kesenangan dunia); sabar (keadaan jiwa yang kokoh, stabil); tawakkal (pasrah); mahabbah (mencintai secara mendalam); ridha (menerima qadha-qadar); ma’rifat (pengetahuan terhadap rahasia Allah).[8]
Sementara itu, ahwal berarti sesuatu yang terjadi secara mendadak pada hati nurani seseorang.[9] Berbeda dengan maqamat yang permanen, ahwal ini bersifat sementara dan tidak pasti datangnya, sebab ia adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang shaleh. Ada beberapa ahwal yang disepakati sebagian besar ulama Sufi, yakni: muqarabah (kesadaran bersama Allah); khauf(takut pada murka Allah); raja’ (mengharapkan Allah); thuma’ninah (rasa tenang); musyahadah (menyaksikan keagungan Allah); uns (suka cita karena Allah).[10]
Selain itu, ada pula satu konsepsi yang dibuat oleh ulama Sufi untuk memberi jalan kemudahan bagi para penempuh (salik) dalam hal pengamalan ajaran Islam secara tepat, sehingga mengantarkannya pada kebahagiaan lahir dan batin. Konsepsi tersebut yakni, pertama, syari’at, adalah tindakan seseorang berdasarkan hukum formal Islam berdasarkan al-Quran dan Sunah. Kedua, thariqat (tarekat), adalah petunjuk melakukan ibadah tertentu sesuai yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.[11] Ketiga, hakikat, berarti sampainya seorang Sufi pada tujuannya, yaitu mengenal Allah dan menyaksikan cahaya penampakannya.[12] Secara mudah, beberapa penekun tasawwuf menyebut konsepsi ini dengan maqam pula, tentu dalam konteks yang berbeda dengan maqam yang telah dipaparkan sebelumnya.
Menangkap Spirit Sufi
Penjelasan mengenai tasawwuf sebagaimana diungkap pada bagian sebelumnya, lebih tampak bersifat teoritis-eksplanatif dari pada praktis-aplikatif. Yang terpenting saat ini bukanlah pengertian apa itu tasawwuf dan cara-caranya, melainkan apa dan bagaimana semangat dan sifat-sifat Sufi yang lembut dan menenangkan. Inilah inti semangat sufisme yang mesti kita tangkap, yang kemudian diharapkan membuat upaya tazkiyat al-nafs kita lebih maju dan bermakna.
Pertama, senantiasa mengingat dan menyebut (dzikr) nama Allah tanpa putus. Sejatinya Allah senang sekali disebut dan dipuji, bahkan penciptaan mahluk oleh-Nya adalah memang untuk tujuan itu. Berdzikir haruslah dilakukan secara countinue, di mana pun, kapanpun, dan bagaimanapun cara dan keadaannya. Ini adalah terapi yang paling inti dan penting bagi seorang hamba untuk menyucikan jiwa dari segala kotoran nafsu amarah untuk bisa menjadi lebih dekat dengan-Nya. Kedua, melayani dan mencintai sesama,[13] termasuk dalam hal ini saling mengingatkan dalam kebaikan, tidak suka mencela dan membuka aib orang lain, tidak menggunjing dan apapun yang bisa melukai perasaan orang lain. Ketiga, tidak melawan perlakuan buruk.[14] Termasuk di sini upaya balas dendam adalah suatu hal yang amat dilarang, meski seseorang terkadang dizalimi, bukan berarti dia harus menzalimi pula. Hal ini meniscayakan bagaimana seseorang membalas segala sesuatu dengan kebaikan. Keempat, selalu bersikap baik dan positif kepada semua mahluk Allah (bukan hanya pada manusia), termasuk hewan dan alam sekitar. Sebab perbuatan buruk terhadap mahluk Allah berarti menyalahi prinsip ekuilibrium (tawazun) alam raya.[15]
Inilah beberapa sipirit penting yang mesti ditanamkan dalam dada setiap penempuh penyucian ruhani, sebab ini adalah pintu menuju jalan Sufi. Mengenai maqam dan ahwal, mereka akan mengikuti dengan sendirinya. Spirit ini menjadi tiket untuk menyelami dunia Sufi yang penuh ekstase.[16]
Tasawwuf sebagai Wilayah Esoteris; Menimbang Sufi Gaul
Manusia diciptakan dengan dua unsur, yaitu materi (lahir/eksoteris) dan immateri (ruhani/esoteris). Hukum Islam, dalam hal ini fiqh, adalah ilmu yang berkaitan dengan sesuatu yang nampak atau eksoteris. Semetara tasawwuf, merupakan ilmu yang berkaitan dengan sesuatu yang tak nampak atau esoteris pada diri manusia. Kondisi eksoteris tidak melulu mewakili kondisi esoteris, oleh karenanya tidak heran bila ajaran tasawwuf seringkali berseberangan dengan prinsip-prinsip fiqh.
Seorang dengan pakaian you can see, dengan kain ketat dan membentuk lekuk tubuh, dalam pandangan fiqh bisa jadi haram sebab hal tersebut amat menggoda iman dan membawa lebih banyak mudharat bagi si perempuan maupun laki-laki yang melihatnya. Orang-orang fiqh mudah saja mengkafirkan seseorang karena pemikirannya yang tidak sama dengan pandangannya, mereka pun tak segan-segan memberlakukan Perda syariah secara pukul rata di suatu daerah. Hal ini maklum, sebab mereka lebih banyak melihat segi lahir dari pada batin, melihat bungkus dari pada isi yang sebenarnya.
Sikap yang sama sekali berbeda ditunjukkan oleh orang-orang tasawwuf (untuk menyebut ‘orang-orang Sufi’ sepertinya terlalu keren dan terburu-buru). Bagi orang-orang ini, seorang perempuan modis dengan pakaian you can see-nya belum tentu buruk, mereka akan lebih melihat dan masuk lebih dalam ke lubuk hatinya. Bentuk lahir, bungkus, atau pakaian bukanlah soal penting bagi orang tasawwuf, yang terpenting adalah apa yang ada di kedalaman hatinya. Jubah maupun cadar bukanlah jaminan cahaya ilahi masuk ke hati seseorang. Semuanya bergantung pada pribadi masing-masing sejauh mana ia menangkap spirit sufi sebagaimana telah disebutkan di atas. Nah, jika itu pertimbangannya, maka, sufi pun bisa gaul, pakai rok mini dan modis. Sekarang tinggal Anda-nya, bisa menerima kenyataan itu atau tidak? ***

[1] Pendapat al-Ghazali yang dikutip dalam Abu al-Wafa at-Taftazani, Madkhal ila al-Tashawuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Tsaqafah wa al-Thiba’ah wa al-Nasy, 1976), hlm. 10.
[2] Fadhalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, terj., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 80.
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 56-61. Bandingkan pula dengan artikelnya, “Tasawwuf”, dalam Budhy Munawar Rachman, (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 161-165.
[4] Al-Qushayry, al-Risalah al-Qushayriyah, (Mesir: Bab al-Halaby, 1959), hlm. 552.
[5] Inilah alasan mengapa tasawwuf tidak bisa disebut sebagai bid’ah. Ia lahir dari rahim Islam sendiri yang memiliki dasar sangat jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an.
[6] Perinsa pada Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 92.
[7] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme…, hlm. 62.
[8] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 162-178.
[9] Lihat Abu Nashr al-Sarraj, al-Luma’, Kairo: Maktabah al- Tsaqafah, t.t.), hlm. 88.
[10] Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, al-Tasawwuf bayna al-Ghazali wa Ibn Taymiyyah, (Mesir: Darul Wafa’), hlm. 132.
[11] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), hlm. 56.
[12] al-Malaybary, Kifayat al-Atqiya’ wa minhaj al-Ashfiya’, (Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan, 1986), hlm. 11.
[13] Sebagaimana hal ini menjadi spirit sufisme dalam periode awal Islam. Tuntaskan pada Javad Nurbakhsh, “Ciri-Ciri Khas Utama Sufisme dalam Periode Awal Islam”, dalam Seyyed Hossein Nasr, et all., Warisan Sufi: Sufisme Persia Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300), terj., (Yogyakarta: Pustaka Susi, 2002), hlm. 9.
[14] Ibid., hlm. 11.
[15] Mengenai prinsip ekuilibrium ini, bandingnkan dengan Nurcholish Madjid, Islam…, hlm. 77.
[16] Dalam Perbendaharaan kaum Sufi, ekstase sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh “minuman” kebenaran. Periksa lebih lengkap di Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, (Jakarta: Paramadina-Dian Rakyat, cet. VII, 2008), hlm. 260.

No comments:

Post a Comment